(status ini diberi ‘Like’ oleh Nining Daryati dan Meilina Fitriawan)
Rabu, 28 September 2011
Minggu, 25 September 2011
ORANGTUA JENIS APAKAH KITA?
Orang sukses
akan selalu berpikir tentang bagaimana
Orang kebanyakan
selalu akan berpikir ada apa
Orang gagal
selalu berpikir siapa dan mengapa
Sewaktu Thomas Edison dikeluarkan
dari sekolah kelas 1 SD – padahal baru 3 bulan bersekolah – karena dinyatakan
ADHD (attention deficit hyperactivity
disorder) dan tidak mampu mengikuti pelajaran disekolah maka Nancy Matthews
Edison, ibunya, langsung berpikir bagaimana (how
to) agar Edison kecil tetap bisa belajar meskipun tidak harus bersekolah. Maka,
jadilah garasi mobil sebagai tempat Edison belajar dan melakukan eksperiment.
Eksperiment teruniknya adalah saat ia mengerami telur karena penasaran dengan
induk ayam yang bisa menetaskan telurnya. Konon seribu eksperimen ia lakukan
sebelum menemukan lampu pijar hingga akhirnya ia menjadi orang sukses dengan
mendirikan perusahan General Electric (GE).
Nancy Matthews tidak pernah meratapi nasib dan pasrah dengan menyalahkan
orang lain atau Tuhan. Tapi ia langsung berpikir dan bertindak solutif agar si
anak tetap bisa berkreatifitas.
Albert Einstein sering membolos pada mata pelajaran yang tidak disukainya dan
lebih memilih duduk-duduk di pinggir danau dan berkhayal dengan pikiran-pikiran
eksotiknya. Pada saat ujian pun ia tetap tidak mau mengikuti ujian pada mata
pelajaran yang tidak disukainya sehingga ia tidak memiliki ijazah SD, SMP dan
hampir saja SMA yang terpaksa ia ambil menjadi syarat masuk perguruan tinggi di
Polytechnic Zurich - Swiss.
Sabtu, 24 September 2011
BELAJAR DARI LINGKARAN SETAN
oleh : Lukmanul Hakim
Jika ada pandangan bahwa faktor keturunan
mutlak mempengaruhi perilaku anak, bolehlah melihat film Lingkaran Setan (1972). Film jadul ini disutradarai
oleh Misbach
Jusa Biran dan dibintangi oleh Sukarno M. Noor (Tohir), Farouk Afero (Husin besar alias si Boy), dan Rano Karno (sebagai Husin kecil)
Cerita diawali saat
seorang jaksa mendakwa Tohir melakukan sebuah tindakan kejahatan pencurian.
Tohir melakukannya karena terdesak oleh kebutuhan hidup, terutama untuk
kebutuhan istrinya yang sedang hamil tua.
Oleh pengadilan Tohir dijatuhi hukuman berat berupa
pembuangan dan kerja paksa. Hukuman itu dijatuhkan karena jaksa Hasan (Aedy
Moward) lebih menekankan pada faktor keturunan daripada latar belakang tindakan
kejahatan itu terjadi. Ketika dalam pembelaan terakhirnya, Tohir menanyakan nasib
istri dan anak di kandungan selama ia dalam pembuangan, sang jaksa hanya
menjawab:
“Anak seorang penjahat, pastilah jadi penjahat
pula! Biarin saja, mati juga tidak apa-apa. Jadi berkurang satu kejahatan”
I’M SORRY....
23/06/11 – 16.28
(status ini diberi ‘Like’
oleh Eliana Joe, Meilina Fitriawan, Erita Maysra, dan Eni Purwaningsih,
serta dikomentari oleh Estee Sugesty)
Tak menunaikan sholat Ashar hari sebelumnya, Ulan dihukum tidak boleh bermain. Konsekuensi ini telah disepakati dan tertuang dalam perjanjian bersama. Meskipun saat itu ada kesempatan bermain dan tidak ada yang mengawasi, Ulan tetap menjalankan hukuman itu.
"Aku tiduran saja di kamar sambil baca buku, Yah!", ujarnya.
-----------------------------
Adalah penting memaafkan kesalahan seorang anak, namun penting pula memberi kesadaran pada mereka bahwa apa yang telah mereka lakukan keliru dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kesadaran itu bisa dalam bentuk hukuman atau konsekuensi. Tentu saja hukuman tersebut tetap harus memberi ruang bagi anak untuk membela diri dan menyampaikan alasannya.
Selasa, 20 September 2011
SAY NO TO ‘SORRY’...
oleh: Lukmanul Hakim
Ada sebuah film lawas bergenre laga yang berjudul The Bodyguard from
Beijing (1994). Film yang kerap diputar berulang-ulang di TV ini berkisah
tentang opsir Allan Hui (Jet Li) yang ditugaskan untuk melindungi Christy (Michelle
Yeung), seorang saksi kunci kejahatan yang dilakukan seorang bos mafia.
Film ini jadi salah satu
favorit saya – selain asyik melihat ketrampilan
wushu Jet Li dan Michelle Yeung yang menawan – ada satu adegan menarik yang
selalu teringat, yaitu ketika adik Christie melakukan kesalahan, lalu meminta
maaf. Lalu melakukan kesalahan, dan minta maaf lagi...minta maaf lagi. Meminta maaf
begitu mudah diucapkan, bahkan pada kesalahan yang sama.
Menyadari bahwa hal itu
tak baik bagi perkembangan si anak kelak, Allan Hui pun menceritakan sebuah
kisah. Diceritakan ada seorang anak yang belajar ilmu bela diri di biara
Shaolin. Anak ini begitu lucu dan menggemaskan sehingga disayang oleh para
bhiksu dan guru. Teramat sayang, mereka selalu mengganggap remeh kenakalan anak
dan selalu memaafkan. Setiap menyadari telah melakukan kesalahan, si anak
meminta maaf dan selalu dimaafkan tanpa ada konsekuensi dari perbuatannya.
Suatu hari si anak
bermain pelita di perpustakaan biara. Karena ceroboh, pelita itu pun terjatuh
dan membakar kertas dan buku yang ada di dalamnya. Api pun dengan cepat
berkobar membakar gedung-gedung di sisinya. Kepala bhiksu – yang amat
menyayangi anak itu – yang sedang berdoa di dalam gedung tidak sempat
menyelamatkan diri dan tewas terbakar. Si anak amat menyesali perbuatannya yang
ceroboh itu dan bersumpah untuk tak pernah lagi meminta maaf.
“Sejak saat itu aku tak
akan lagi meminta maaf”, ujar Allan Hui.
Minggu, 18 September 2011
MELURUSKAN ARAH ANAK PANAH
oleh Meilina Fitriawan
pada 18 September 2011 jam 7:59
Ada
yang terlihat tidak biasa ketika mengantar anak saya Naufal memasuki pintu
gerbang sekolahnya minggu lalu. Saya mengamati sekeliling. Banyak gambar lebah
tertempel di dinding, mengarah menuju school hall di sebelah kiri. Seakan
mengerti kebingungan saya, Naufal lalu berkata:
“Hari
ini ada spelling bee competition,
Bunda."
Ah ya,
baru saya ingat. Sudah dua tahun terakhir ini sekolahnya menjadi tuan rumah
penyelenggaraan spelling
bee competition untuk murid-murid Year 4, 5,
6 seluruh
Primary Public School
di state NSW ini. Naufal yang tahun lalu masih Year-3 termasuk anggota
tim spelling bee yang
mewakili sekolahnya, bersama kawan-kawannya dari Year-4,
dan 5. Spelling
bee competition adalah kompetisi di bidang linguistik dimana
pesertanya harus mengeja dengan benar sebuah kata yang diajukan oleh penguji di
depan penonton. Pengujiannya berdasarkan sistem gugur, terdiri dari beberapa
babak dengan tingkat kesulitan yang makin meningkat.
Persiapannya,
menurut saya, cukup berat. Mereka harus mempelajari ejaan dari kumpulan vocabulary
sebanyak 11 halaman yang masing-masing halaman terdiri dari sekitar
100 kata. Tak pelak sayapun pontang panting dibuatnya. Bukan perkara mudah
mendisiplinkan Naufal untuk mau melahap ejaan 1000-an kata dalam dua
minggu saja. Tapi juga tidak sesulit menghiburnya supaya tidak berkecil
hati karena tak bisa melaju ke babak ketiga tahun lalu.
Mendadak
saya tersentak. Seperti baru tersadar bahwa minggu-minggu itu tidak sekalipun
Naufal bercerita tentang kompetisi ini, apalagi
membawa pulang berkas vocabulary yang harus
dipelajari pada kompetisi tahun ini.
"Naufal
ikut?" tanya saya. Dia menggeleng.
Sabtu, 17 September 2011
DON’T WORRY BE HAPPY...
29/10/10 – 11.18
(status ini diberi ‘Like’ oleh Inayaty Suryadarma dan Ruhnia Uni Niati)
"Waktu nonton On the Spot episode 7 tokoh horor, aku jadi serem, Yah! Tapi aku ingat kata-katanya guru Harry Potter", kata Ulan.
Rupanya Ulan teringat satu bagian dari film Harry Potter yang pernah ia tonton.
“Apa itu?", tanya si ayah.
“Kalau kamu merasa takut, ingat saja saat-saat engkau merasa paling bahagia", tambahnya.
Guru Harry Potter yang dirujuk oleh Ulan adalah Prof. Remus Lupin pada film Harry Potter & The Prisoner of Azkaban (2004). Sang profesor mengajarkan Harry Potter sebuah mantra untuk mempertahankan diri dari serangan Dementor, mahluk menyeramkan yang menyerap habis harapan dan kebahagiaan manusia.
"A patronus is a kind of positive force, and for the
wizard who can conjure one, it works something like a shield, with the Dementor
feeding on it, rather than him. In order for it to work, you need to think of a
memory. Not just any memory, a very happy
memory, a very powerful memory…
Allow it to fill you up…lose yourself in it…then speak the incantation ‘Expecto
Patronum.’"
-------------------------------
Jumat, 16 September 2011
DI-IGNORE...
04/11/10 – 05.57
(status ini diberi ‘Like’ oleh Inayaty Suryadarma dan dikomentari oleh Ruhnia Uni Niati)
Sudah pasti orangtua takkan punya pikiran untuk mengabaikan anak. Sebaliknya, banyak yang terlalu memanjakan mereka. Bahkan ada pula yang cenderung over-protective. Namun, tanpa disadari kita tak jarang melakukan hal tersebut dengan alasan tak ada waktu, sibuk, atau lelah.
Sebuah self-introspective story. Pagi ini dengan antusias Ulan bercerita tentang kegiatan menggosok gigi di sekolah yang diadakan pada hari Rabu kemarin. Karena kerap punya ide sendiri, si ayah – yang sedang menyaksikan berita sepakbola di TV dan tak fokus pada cerita anak – pun bertanya apakah program ini dari sekolah atau inisiatif Ulan dan kawan-kawannya. Tak menjawab, Ulan malah bertanya kepada bundanya:
“Bunda paham tidak apa yang tadi aku ceritakan?”
“Maaf, ya, Nak! Bunda kan lagi bantu mbak Suci masak. Jadi, nggak perhatikan deh!”, ujar bunda.
Merasa sudah menceritakan kegiatan ini sedetail mungkin, sambil geleng-geleng kepala Ulan merespon ‘pengabaian’ ini dengan bergaya bak orang dewasa:
“Ck..ck..ck..orang tuaku tidak mengerti juga!”
Senin, 12 September 2011
ANAK SIAPA?
17/04/11 – 06.44
(status ini diberi ‘Like’
dan dikomentari oleh Kireina Bgt dan Rosita Hendriyani)
Kerap kita bercanda dengan anak dengan mengajukan
suatu pertanyaan yang memintanya berpihak pada salah satu diantara ayah atau bundanya.
Misalnya, bertanya tentang kemiripan anak tersebut. Meskipun jawaban si anak
tak berpihak kepada kita, tetap saja kita merasa senang.
Suatu pagi kami pun bercanda dengan Ulan dan menanyakan satu pertanyaan multiple choice.
"Ulan anak bunda atau ayah?", tanya si ayah, ngetest.
"Aku itu anak Allah, Ayah!", jawab Ulan cepat.
“Kan Allah tidak punya anak”, balas ayah berargumentasi.
"Ih, Ayah!, maksudku Allah itu cuma menitipkan aku ke Ayah dan Bunda", terang Ulan bak seorang guru yang sedang serius menjelaskan. “Jadi, sebenarnya aku itu bukan milik Ayah dan Bunda”, lanjutnya.
“Nah, lho...pagi-pagi sudah dapat ceramah tentang Anakmu bukanlah Milikmu-nya Gibran*)”, gumam ayah.
Jangan meremehkan seorang anak, mungkin itu adalah nasehat yang pas buat kita, para orangtua. Anak-anak jaman sekarang menyerap informasi lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan saat kita masih anak-anak dulu. Hal itu disebabkan akses informasi yang lebih mudah diperoleh, berupa media TV, internet, koran, buku, maupun hasil ‘diskusi’ dengan teman (chatting, gosip, dll.). Anak jaman sekarang adalah anak-anak digital (baca juga: http://busur-panah.blogspot.com/2011/09/anak-kita-anak-digital.html).
ANAK KITA, ANAK DIGITAL
Bukan pemandangan yang asing bila
anak-anak sekarang akrab dengan teknologi. Notebook, handphone, BlackBerry,
iPad saat ini tak jarang terlihat ditenteng oleh anak-anak ABG. Kemudahan
mengakses informasi melalui perangkat tersebut membuat anak makin mudah dan
cepat mengetahui jawaban tentang sesuatu, mencari tahu informasi tentang
aktifitas idolanya, main games online, atau sekedar chatting dengan teman, nyata atau maya. Anak-anak sekarang adalah
anak-anak digital.
Digital Natives, Digital
Immigrants
Digital natives merujuk pada generasi internet
(Bayne & Ross, 2007). Mereka adalah anak-anak yang lahir di era setelah
80-an dan mengakses teknologi jejaring digital dan memiliki pengetahuan dan
ketrampilan dalam mengoperasikan komputer (Palfrey & Gasser, 2008). Jika
anak kita adalah digital natives,
maka orangtua mereka adalah digital
immigrants, yakni mereka yang telah mengadopsi dan mengunakan internet dan
teknologi terkait, tetapi lahir sebelum kemunculan era digital.
Digital immigrants belajar bagaimana membuat serta
menggunakan e-mail dan jejaring sosial. Namun proses tersebut berjalan
‘terlambat’ dibandingkan dengan digital
natives yang yang mengenyam teknologi tersebut sejak usia SD. Mereka sangat
memahami prosedur penggunaan internet, mulai dari browsing hingga memproduksi
pesan di dalamnya. Mereka menjadikan aktifitas berselancar di dunia maya
sebagai rutinitas yang hampir setiap saat dilakukan. Generasi ini menghabiskan
sebagian besar waktunya di dunia maya.
Sabtu, 10 September 2011
MENCONTOH DARI YANG TERDEKAT
19/06/11 – 07.11
(status ini diberi ‘Like’ oleh Achmad Fauzi, Nining Daryati, Nancy Tooy, Eko Cunong Golip, Whee Ker)
“Yah, aku mau nyapu halaman dulu ya..", ijin Ulan pagi-pagi tadi.
Agaknya si anak terinspirasi oleh aktifitas bundanya. Memang, biasanya setiap hari Sabtu atau Minggu pagi bunda dan mbak Suci bersama-sama menyapu jalanan, musholla, dan lapangan sekitar rumah. Rupanya aktifitas sukarela itu memberi pengaruh positif pada Ulan.
Anak-anak memang pengamat sekaligus pecontoh ulung. Mereka mengamati kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya di rumah dan mencontohnya. Maka jika ada perilaku anak yang tidak baik, kita mesti juga introspeksi apakah kita – orangtua atau orang terdekat lainnya – telah melakukan hal tersebut.
Jadi teringat sebuah cerita. Suatu hari di sebuah sekolah guru bertanya tentang cita-cita muridnya. Seperti biasa para murid menjawab ingin menjadi dokter, pilot, insinyur, artis, dan profesi-profesi lainnya yang populer. Namun, ada seorang anak yang memberi jawaban unik, lain daripada yang lain. Ia ingin menjadi.....anggota DPR!
Bagaimana pandangan kita tentang anggota DPR saat ini? Sebagian besar mungkin sependapat dengan persepsi negatif anggota DPR sekarang, yaitu suka mementingkan diri sendiri, suka bolos, banyak bicara sedikit kerja, korupsi, dsb. Adalah aneh bila seorang anak ingin menjadi sesuatu yang dipersepsi buruk.
Lalu kenapa anak tersebut memilih menjadi anggota dewan?
Usut punya usut, ternyata ia adalah anak dari seorang anggota dewan. Si anak justru melihat sang ibu yang anggota dewan memiliki sikap dan kepribadian yang bertolak belakang dengan persepsi negatif itu. Si anak memandang sang ibu sebagai anggota dewan yang suka mengaji, mengajar, rendah hati, dan sempat bermain dan mengambil raport anak-anaknya di tengah kesibukannya bekerja. Keseharian sang ibu telah 'menyelamatkan' wajah anggota para dewan yang terhormat, setidaknya di mata anak tersebut.
Anak-anak akan mencontoh dari dan pada yang paling dekat. Itulah kita, ayah bunda. Kalau begitu, ayo kita jaga ucapan, perilaku dan sikap kita supaya anak-anak kita pun terjaga perilakunya (baca juga: http://busur-panah.blogspot.com/2011/08/ayah-bunda-perbaiki-perilakumu.html)
(taken from: qaulan sadiida on facebook: bercermin pada anak-anak..)
Jumat, 09 September 2011
SELF CONFIDENCE
JADI IMAM (1)
7 November 2010
16 Januari
2011
Berbondong-bondong 2 krucil, Amey dan Evelyn, bersama Ulan
masuk ke rumah membawa baju ganti dan perlengkapan mandi. Rupanya mereka diundang
Ulan untuk mandi bersama di rumah. Selain lebih ramai kalau mandi bersama di
bawah pancuran, setelah itu mereka pun bisa langsung bermain.
Mandi sudah, pakai
baju yang paling bagus, rambut sudah rapi. Apa yang belum? Ups! Sholat Ashar yang belum. Ulan pun mengajak
Amey untuk sholat Ashar berjamaah sebelum bermain. Sedangkan Evelyn menunggu di
sisi tempat tidur. Terdengar alunan suara si Ulan membacakan surah Al Zalzalah
dan Al Bayyinah. Orang tua yang melihat adegan dua anak kecil sholat berjamaah
ini pasti terharu senang.
Setelah sholat, ayah
memberi tahu Ulan kalau sholat Ashar tidak perlu dikeraskan bacaannya.
“Aku sudah tahu,
Ayah!”, elaknya, “Aku hanya ingin mengajari si Amey bacaan Qur’an”, lanjutnya
percaya diri.
Selalu ada alasan
kuat di dalam setiap tindakannya. Sipp!
JADI IMAM (2)7 November 2010
(status ini diberi ‘Like’
oleh Nur Ainayah al Fatihah, Achmad Fauzi, dan Estee Sugesty, dan dikomentari
oleh Estee Sugesty)
Adzan Maghrib
berkumandang. Ulan dan bunda bersiap-siap menunaikan sholat Maghrib berjamaah.
Kali ini Ulan maunya di rumah saja.Ketika bersiap-siap
hendak sholat dengan Bunda sebagai imam, tiba-tiba Ulan bertanya:
“Nanti Bunda baca
surat apa?”
”Surah Innaa a'thainaa.. dan
An Nass”, jawab Bunda.
“Ah, bosan! Itu
lagi..itu lagi”, gerutu Ulan, “Kalau gitu aku saja yang jadi imam. Aku mau baca
At Takatsur dan Al Fill”.
Sholat maghrib kali
ini, Ulan yang jadi Imam.
Kepercayaan diri
seseorang bisa tumbuh karena dia menguasai dan mampu dalam bidang yang
digelutinya. Namun pada anak-anak kemampuan ini bisa jadi hanya akan terpendam,
tidak tampil ke permukaan karena minder, malu, atau takut. Mendukung dan memberi
rasa aman terhadap setiap ekspresi yang dilakukan anak, tidak pelit memberi
apresiasi pada setiap usaha yang telah ia lakukan meskipun hasil belum maksimal,
dan memberi kepercayaan kepada anak akan membangkit rasa percaya diri dan
kemampuan untuk bertanggung jawab.
That’s
the point!
(taken from: qaulan sadiida on facebook: bercermin pada anak-anak)
Selasa, 06 September 2011
HOW TO TRAIN YOUR DRAGON
oleh: Lukmanul Hakim
Film How To Train Your Dragon (2010) mengambil setting kehidupan bangsa Viking di jaman dahulu. Saat itu bangsa Viking sedang bermusuhan dengan gerombolan naga yang menyerang desa dan mencuri ternak mereka. Untuk menghadapi ancaman perusuh itu, setiap remaja Viking diberi pelatihan dan pengetahuan tentang naga dan dilatih untuk menjadi pembunuh naga seperti generasi mereka sebelumnya.
Film How To Train Your Dragon (2010) mengambil setting kehidupan bangsa Viking di jaman dahulu. Saat itu bangsa Viking sedang bermusuhan dengan gerombolan naga yang menyerang desa dan mencuri ternak mereka. Untuk menghadapi ancaman perusuh itu, setiap remaja Viking diberi pelatihan dan pengetahuan tentang naga dan dilatih untuk menjadi pembunuh naga seperti generasi mereka sebelumnya.
Dari sekian banyak naga, yang paling ditakuti adalah Night Fury. Pesan dari tetuah Viking: engkau harus melawan setiap naga yang datang, namun jika itu Night Fury, perlawanan terbaik adalah bersembunyi dan berharap tak diketahui.
QUARREL & PEACE
“Ayah, aku ada yang mau diomongin nih!”, kata Ulan sambil menggamit lengan ayahnya dan mengajak ke balik dinding.
Jika sedang mempunyai masalah atau ada sesuatu yang ingin dibicarakan, Ulan memang akan mengatakannya secara langsung. Tidak dipendam. Hal ini dimungkinkan jika anak merasa aman, didengar dan dihargai pendapatnya.
Teringat suatu kisah tentang seorang ibu yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan kantor di rumah yang harus segera ia selesaikan untuk presentasi besok pagi. Ketika anak perempuan kecilnya meminta pendapat tentang gambar yang baru dibuatnya, sang ibu menghentikan pekerjaan, mengambil gambar, mengamatinya, dan memberi komentar positif dengan antusias. Mengambil beberapa menit dari waktunya yang padat. Ketika ditanya kenapa dia memberikan waktunya yang padat itu untuk mengomentari gambar sang anak ketimbang menyelesaikan pekerjaan yang sedang diburu, sang ibu menjawab: “Saya masih akan memiliki banyak pekerjaan lain dan waktu untuk menyelesaikannya, tapi permintaan itu mungkin hanya sekali ia sampaikan, dan saya takut terlewat memenuhi permintaan itu ketika saya masih mampu memenuhi dan memberinya dukungan”. Jika anak diperlakukan seperti ini, anak akan merasa aman menyampaikan opini dan perasaannya.
Kembali ke cerita tentang Ulan. Agak lama ia terdiam seolah-olah sedang merangkai kata. “Aku kan lagi bersaing sama Zahra, Yah!”, lanjutnya.
Bersaing? What does she mean? Zahra adalah salah seorang teman bermainnya.
“Kata kak Cerah, Zahra bilang males sama aku soalnya suka ngatur-ngatur. Eh, dianya sendiri juga ngatur-ngatur. Besok katanya harus kumpul pkl 09.00. Biarin saja aku datang pkl 09.30”.
O..maksudnya mereka sedang berselisih.
Bersyukurlah para orangtua jika mendapatkan laporan semacam ini. Hal itu menunjukkan anak tak ada beban dan merasa terbuka untuk curhat dan sharing. Orangtua mesti bisa menjadi seorang sahabat yang setara bagi anak, sehingga ia merasa nyaman mengungkapkan isi hatinya. Jika sudah dianggap sebagai teman atau sahabat, nasehat yang kita berikan akan dianggap sebagai sran dari seorang teman. Tidak menggurui.
Besoknya, ketika anak-anak berkumpul dan bermain di rumah Ulan, Zahra datang berkunjung. Dia hendak bergabung untuk bermain tapi ragu-ragu karena merasa tidak enak telah membuat perselisihan.
“Ayo, Zahra…masuk saja! Sini gabung main ABC 5 Dasar!”, seru Ulan dan kak Cerah berbarengan.
Semudah itu suasana kembali cair. Ah, anak-anak memang mudah lupa kalau urusan balas dan dendam.
(taken from: qaulan sadiida on facebook, bercermin pada anak-anak)
Langganan:
Postingan (Atom)