Minggu, 26 Februari 2012

RAJU RASTOGI DAN KEJUJURAN


Pada salah satu adegan film 3 idiots (2009), sebuah film drama-komedi, Raju Rastogi yang diperankan oleh Sharman Joshi sedang diwawancari oleh beberapa Direktur HRD sebuah perusahaan besar. Raju bukanlah mahasiswa yang pandai, bahkan termasuk golongan ‘ranking bawah’. Saat wawancara, ia menggunakan kursi roda. Dua fakta tersebut menarik perhatian para pewawancara tersebut.
“Saya lihat nilai-nilaimu tak terlalu bagus. Bisa dijelaskan?”, tanya salah seorang pewawancara
“Sedari kecil saya termasuk anak yang pintar. Orang tuaku sangat berharap aku membawa mereka keluar dari kemiskinan. Dan itu membuatku takut. Takut mengecewakan mereka. Di kampus ini ketakutanku makin bertambah. Rasa takut ini tak bagus bagi kompetisi yang didasarkan pada nilai atau peringkat. Saya makin banyak memakai cincin sebagai jimat. Jimat agar dapat nilai bagus, jimat agar orangtua tak kecewa, jimat mengatasi kemiskinan, dll. Namun, sekarang saya sadar dan menanggalkan semua cincin itu.
“Lalu, bagaimana cerita sampai engkau memakai kursi roda ini?”, tanya pewawancara lainnya.
“O..itu kebodohan saya”, jawab Raju sambil tersenyum. “Karena mabuk, saya kencing di pintu rumah Rektor. Beliau sangat marah dan mengancam mengeluarkan saya dari College ini. Hal itu membuat saya sangat takut sehingga mengambil jalan pintas terjun dari lantai 3. Untung, Tuhan masih memberi saya kesempatan”.
“Sebenarnya posisi yang lowong di perusahaan ini membutuhkan seseorang yang pintar berdiplomasi. Saya lihat anda orang yang suka berterus terang. Jika anda bisa merubah sedikit karakter anda untuk tidak terlalu berterus terang, mungkin lamaran anda bisa kami pertimbangkan lebih jauh”, terang sang Direktur sambil menyodor berkas lamaran dan nilai kepada Raju Rastogi.
Raju mengambil surat lamarannya, tersenyum, dan menjawab:
“Koma selama 3 bulan dan beberapa tulang patah membuatku memiliki waktu yang panjang untuk merenung. Saya sangat yakin dengan sikap yang saya pilih. Hari ini saya tidak memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan pekerjaan ini, saya hanya berterima kasih kepada-NYA atas kehidupan ini. Jadi, saya akan tetap dengan karakter saya, dan kalian simpan lowongan tersebut sampai mendapatkan orang yang sesuai. No problem!”
“Tunggu, Nak!”, cegah sang Direktur ketika melihat Raju hendak berbalik pergi. “Saya sudah sangat berpengalaman dalam melakukan rekruitment. Selama 25 tahun lebih proses rekruitmen, orang-orang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Bahkan jika perlu merubah karakter dan integritasnya. Hari ini saya sangat appreciate dengan keteguhanmu. Jadi, berapa yang kau minta agar kamu mau bergabung dengan kami?”

---------------------------------------

Seringkali kita dengar, atau malah kita sendiri yang berucap, jika ‘jujur itu membuat buntung’ atau ‘jujur itu bakalan ancur!’. Adegan di 3 idiots ini menafikan hal tersebut. Kejujuran pasti akan menang dan ada hasilnya, setidaknya membuat integritas orang yang melakukannya makin kokoh.
Bagaimana kita bisa berharap anak-anak kita jujur dan berintegritas, ayah-bunda? Hal pertama yang bisa segera dilakukan adalah jujur pada diri sendiri dan memberi contoh pada anak-anak tentang kejujuran dan menerapkannya dalam kehidupan sehar-hari.
Sederhana  sebernarnya, bukan? Silakan dicoba....

Jumat, 10 Februari 2012

"AKU TAK MAU JADI PAHLAWAN, BUNDA! AKU MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK TANGAN"


Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar,namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati.
Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar.
Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa? Anak kami menjawab: Itu karena ayah juga bukan seorang dengan kepandaian luar biasa. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.
Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.
Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari dan bermain-main.
Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang-bintang. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya kami ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah? Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya.
Anak kami juga sangat penurut, dia tidak membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa henti.
Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat.Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat kurus banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja nomor 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku semakin pucat saja.
Apalagi, setiap kali akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini.
Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor Anak-Anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai sekolahnya.
Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek. Anak kami yang tak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika dan satunya lagi adalah jago berbahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan di atas piring. Tidak seorang pun yang mengalah dan mau melepaskannya. Juga tidak mau membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang berhak.
Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti berkarya. Dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio masing-masing.
Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.
Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya. Hal yang pertama kali ditemukannya selama 30 tahun mengajar.
Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku. Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja.
Dia memberi pujian bahwa anakku ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu.
Saya bercanda pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan”. Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi Pahlawan aku mau jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.
Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama. Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat seketika.
Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.
Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang suka membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi?
Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?

(taken from: Irfan Syafei’s note on facebook)