Minggu, 31 Juli 2011

MEREMEHKAN ANAK, KESALAHAN YANG BIASA DILAKUKAN

oleh: lhakim
Rafi, 5 tahun, diminta menggambar seekor binatang. Iapun menggambar seekor burung yang sedang bertengger. Lantas seluruh kertasnya, latar belakang dan burungnya, diberi warna hitam sebagai dasar. Alhasil, gambar burungnya malah tak terlihat. Ibunya melihat gambar tersebut, mengernyitkan kening, dan berkomentar: 
“Kok, burung warnanya hitam? Burung apa itu?”. Lalu, dilanjutkan serentetan panjang kritik dan koreksi dari sang ibu yang meremehkannya.

Sabtu, 30 Juli 2011

KEKUATAN & KELEMAHAN

Alkisah, di sebuah kota kecil di Jepang, terdapat seorang anak yg lengan kirinya buntung, tetapi ia sangat menyukai beladiri judo, dan sudah mengikuti latihan di sebuah dojo. Selama berlatih, sang guru hanya mengajarkan satu jurus saja. Walaupun jurus itu termasuk sukar untuk dikuasai, anak ini merasa tak puas karena ia melihat murid-murid lainnya mempelajari bermacam-macam teknik. 


Akhirnya setelah 6 bulan, ia tak kuasa lagi menahan kesabarannya. Lantas ia menemui sang guru:  “Sensei, bolehkah aku bertanya? Mengapa selama 6 bulan ini aku hanya berlatih jurus ini saja”.  


Gurunya hanya menjawab singkat, “Karena engkau murid yang istimewa dan hanya jurus ini yang engkau perlukan”. 


Ia tak berani lagi bertanya dan memilih untuk berlatih dengan tekun. Semakin lama jurus itu semakin dikuasainya dan mendarah daging dalam dirinya. Tak ada seorangpun yang semahir dia dalam menggunakan jurus tersebut. Setahun kemudian, sang guru menyertakan dirinya dalam kejuaran nasional di ibukota. Walaupun merasa pesimis  dan minder, ia menuruti permintaan sang guru. Mereka pun berangkat ke ibukota. Kejuaraan dimulai. 


Diluar dugaannya, dengan mudah ia bisa menjatuhkan dan mengunci lawan-lawannya. Babak demi babak ia lalui, sampai akhirnya ia harus menghadapi juara tahun lalu di babak final. Walau memakan waktu cukup lama dan menguras tenaga, lagi-lagi ia berhasil memenangkan pertandingan. Dalam perjalanan pulang, sembari membahas dan mengevaluasi pertarungannya, sang anak bertanya kembali: “Sensei, saya heran, mengapa hanya bermodal satu jurus ini saja saya bisa memenangi pertandingan. Saya masih belum mengerti ucapan Sensei dulu. Apa istimewanya saya dan mengapa hanya satu jurus ini?” 


Sang Sensei tersenyum dan berkata, “Muridku, cara bertarung setiap orang adalah unik, tergantung dari kekuatan dan kelemahannya. Praktisi beladiri perlu mempelajari berbagai teknik dan jurus sampai akhirnya ia menemukan kekuatan serta kelemahannya. Sampai akhirnya memilih teknik dan jurus yang sesuai, yaitu teknik-teknik yang memanfaatkan kekuatannya dan menutupi kekurangan. Atau bahkan mengubah kelemahannya sebagai kekuatan. Engkau istimewa, karena kekuranganmu sudah jelas. Sehingga tak perlu menghabiskan waktu mempelajari berbagai jurus dan teknik yang sudah pasti tidak engkau perlukan. Dan jurus itu paling cocok bagimu, karena selain jurus tersebut salah satu jurus tersulit dalam judo, satu-satunya cara untuk menghadapinya adalah dengan mengunci lengan kirimu”. 


Kadang orang mengira bahwa kekurangannya merupakan hukuman, kutukan dan menyesalinya. Padahal, di dunia ini banyak sekali terdapat kemungkinan dan tak mungkin semuanya diraih. Orang-orang yang memahami kekurangannya seharusnya bisa menyadari hal-hal yang mustahil ia lakukan dan tak membuang waktu percuma untuk mengejarnya. Dan orang-orang yang juara adalah orang-orang yang menggunakan semaksimal mungkin  kekuatannya dan juga berhasil menggunakan kelemahannya juga sebagai kekuatan.


Cerita di atas menginspirasikan tentang keistmewaan dalam kekurangan. Bagaimana dengan anak-anak kita, ayah-bunda? Tiap-tiap anak memiliki keunikannya sendiri. Bisa jadi keunikan itu adalah kelemahan dalam persepsi kita. Seperti sensei di atas, kita mesti jeli melihat dan mengoptimalkan ‘kekurangan’ itu menjadi sebuah kekuatan. Belajar dengan cara menyenangkan adalah salah satu cara mengetahui dan mengotimalkan keunikan itu. 

Selamat mencoba...

TAARE ZAMEEN PAR

Ini dia salah satu film karya negeri India. Taare Zameen Par (Every Child Special) [2007] merupakan film yang cocok untuk ditonton untuk anak-anak dan keluarga karena film ini mengajarkan moral yang baik.  Untuk versi luarnya judul film ini adalah Like Stars on Earth. Seperti halnya film yang fenomenal kemarin, 3 Idiots, film ini juga menceritakan mengenai pendidikan dan parenting. Bercerita mengenai nilai nilai pendidikan yang ada. Yang pasti film ini rekomendasi untuk ditonton.

Film Taare Zameen Par bercerita tentang seorang anak kelas 3 setingkat SD yang idiots, yang bernama Ishaan Nandkishore Awasthi, susah menangkap perintah dan kata-kata orang lain. Apalagi jika perintah tersebut berupa kalimat panjang. Setiap kata-kata dan tulisan yang dilihatnya seolah-olah seperti menari-nari. Sekolah dirasakannya terasa sangat sulit dan menyiksa. Orang tua dan guru selalu menekan dia untuk selalu belajar sesuai dengan orang normal yang lainnya. Selama sekolah Ishaan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Bahkan gurunya pun juga sering memarahinya karena dia mempunyai kekurangan tersebut. Hasilnya kepercayaan dirinya pun merosot yang berakibat dia suka membuat keributan untuk menunjukkan eksistensinya.Mengetahui kondisi tersebut orang tuanya memindahkan sekolah dan mendaftarkannya untuk mengikuti program asrama dengan harapan Ishaan menjadi lebih baik (baca: 'normal') dan disiplin.
Bukannya menjadi lebih baik, Ishaan makin merosot kepercayaan dirinya. Bahkan ia tak mau lagi menggambar yang merupakan passion-nya. Sama seperti di sekolah sebelumnya, di asrama guru-gurunya pun mengejek dan menghukum karena tak mampu menampung apapun yang dituangkan oleh guru. 
Untungnya datang seorang guru kesenian pengganti sementara yang bernaman Ram Shankar Nikumbh (Aamir Khan). Guru baru ini mempunyai cara mendidik yang baru. Tidak seperti guru lain yang mengikuti norma yang ada dalam mendidik anak-anak, Ram membuat mereka berpikir keluar dari buku-buku, di luar empat dinding kelas dan mengeksplorasi imajinasi mereka. Setiap anak di kelas merespon dengan antusiasme yang besar kecuali Ishaan. Ram menyadari bahwa Ishaan menderita penyakit penderitaan anak disleksia. Ram kemudian berusaha untuk memahami Ishaan dan masalah-masalahnya. Dia membuat orang tua dan guru Ishaan lainnya menyadari bahwa Ishaan bukan anak yang abnormal, tetapi anak yang sangat khusus dengan bakat sendiri. Setiap anak itu terlahir unik dan istimewa, katanya. Dengan waktu, kesabaran dan perawatan Ram berhasil dalam mendorong tingkat kepercayaan Ishaan. Dia membantu Ishaan dalam mengatasi masalah pelajarannya dan kembali menemukan kepercayaan yang hilang.
Film ini disutradarai langsung oleh Aamir Khan. Pesan moral yang disampaikan dari film ini adalah selama proses pendidikan dan kehidupan, biarkan menjadi diri sendiri. Jangan menjadikan kesuksesan dan posisi dalam masyarakat menjadi patokan. Biarkan berkarya sesuai dengan dirinya sendiri karena bakat dan kemampuan seseorang itu unik dan istimewa. Selain itu, orang tua harus tahu kondisi perkembangan anaknya. Jangan terlalu memaksakan kepada anaknya.
Silahkan ditonton filmnya dan dipraktekkan...;)



footnote :

Apa Itu Disleksia? Disleksia (Inggris: dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa. Terminologi disleksia juga digunakan untuk merujuk kepada kehilangan kemampuan membaca pada seseorang dikarenakan akibat kerusakan pada otak. Disleksia pada tipe ini sering disebut sebagai Aleksia.

Selain memengaruhi kemampuan membaca dan menulis, disleksia juga ditengarai juga memengaruhi kemampuan berbicara pada beberapa pengidapnya. Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal. Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab pertanyaan yang seperti uraian, panjang lebar.

(disadur dari blog aguswibisono.com)

BELAJAR YANG MENYENANGKAN

oleh; Rhenald Khasali

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna. Hebat, bagus sekali! Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya. Bukannya diberi nilai buruk, ia malah dipuji.

Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya kuatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?" “Dari Indonesia ," jawab saya. Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. "Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini”, lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!"

Dia pun melanjutkan argumentasinya. "Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat", ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan studi saya yang bergelimang nilai "A". Dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor, saya pun dapat melewatinya dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.

Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya.

Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan", ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut: "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh”.

Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti. Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah. Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

MENDONGENG ITU MENYENANGKAN

Konon mendongeng adalah salah satu aktifitas yang paling tua dalam sejarah manusia. Sebelum jamannya buku, cerita dikisahkan turun temurun secara lisan. Kisah yang mereka ceritakan umumnya bertemakan sejarah nenek moyang, epos (kepahlawanan), persahabatan, nilai-nilai moral, dan sebagainya. Cerita-cerita ini, misalnya tentang Kancil yang Cerdik atau Timun Emas, mampu membekas lama karena alur yang sederhana dan memuat nilai-nilai luhur tentang keseharian. Mendongeng dengan kisah-kisah semacam itu patut kita teruskan kepada anak-anak kita sehingga membentuk kepribadian yang positif baginya.

Mendongeng adalah kegiatan yang menyenangkan karena dengan mendongeng memungkinkan terjadinya ikatan emosi yang erat antara anak dan orang tua. Dongeng bermanfaat bagi anak karena dapat menimbulkan fantasi aktif yang merupakan unsur yang memungkinkan dan mendukung kreatifitas. Fantasi memiliki manfaat sangat besar bagi kehidupan manusia, antara lain:
  1. Memungkinkan anak menempatkan diri dalam kepribadian orang lain. Dengan demikian ia akan lebih dapat memahami sesama manusia.
  2. Memungkinkan anak untuk menyelami sifat-sifat kemanusiaan pada umumnya. Ini merupakan modal untuk bersikap empatik.
  3. Fantasi mampu melepaskan diri dari ruang dan waktu. Sehingga ia akan dapat memahami apa yang terjadi di tempat lain dan di waktu lain. Hal inilah yang antara lain memudahkan seseorang untuk belajar geografi (memahami kejadian di tempat lain) dan sejarah (memahami kejadian di waktu lain)
  4. Memungkinkan seseorang untuk melepaskan diri dari kesukaran yang dihadapi. Fantasi juga bermanfaat untuk melupakan kegagalan di masa lalu.
  5. Fantasi memungkinkan seseorang untuk menyelesaikan konflik riil secara imajiner. Hal ini akan membantu mengurangi ketegangan psikis dan menjaga keseimbangan batiniah.
  6. Fantasi memungkinkan manusia menciptakan sesuatu untuk dikejar, membentuk masa depan yang ideal, dan berusaha merealisasikannya.
Dongeng yang disampaikan dari buku dan membacanya dengan lantang akan memberi manfaat lain, yaitu:
  • menstimulasi imajinasi dan perkembangan otak anak
  • mengkondisikan otak si anak untuk mengasosiasikan membaca dengan kebahagiaan sehingga mempu menumbuhkan minat baca
  • memberikan motivasi dan sosok panutan
  • membangun kosa kata, menciptakan informasi, dan mengajarkan komunikasi. Dengan membacaka buku dongeng, orang tua juga belajar bagaimana berbahasa yang baik dan benar sehingga anak dibiasakan mendengar bahasa yang baku sejak dini.
Atmosfer masa kanak-kanak adalah bermain. Jadi kita mesti mampu membawakan cerita atau dongeng dalam suasana bermain atau fun. Dengan membawakannya secara menyenangkan, anak-anak akan tertarik sehingga tujuan kita tercapai.

Ada beberapa beberapa hal yang perlu diperhatikan saat membacakan cerita, antara lain[1]:

Dos – Yang Boleh:
  1. Mulailah membacakan cerita kepada anak-anak sesegera mungkin. Semakin dini anda mulai, semakin mudah dan semakin baik.
  2. Sebelum mulai membaca, selalu sebutkan judul buku, pengarang, dan ilustratornya – walaupun anda sedang membacakan untuk kesekian kalinya.
  3. Pertama kali anda membaca satu buku, diskusikan ilustrasi yang ada di sampulnya. Tanyakan,”Menurut kamu buku ini tentang apa?”
  4. Mulailah dengan ilustrasi hitam putih, dan kemudian beralih ke buku bergambar yang berwarna cerah untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan indera visual anak-anak.
  5. Gunakan rima dan lagu untuk menstimulasi bahasa dan pendengaran anak.
  6. Gunakan banyak ekspresi ketika membaca. Kalau mungkin, ubah nada suara anda supaya sesuai dengan dialog yang ada.
  7. Ketika anda membaca, tetap libatkan anak dengan sesekali bertanya,”Menurut kalian  apa yang akan terjadi selanjutnya?”
  8. Sesekali, ketika anak bertanya tentang sesuatu yang melibatkan teks, perlihatkan anda mencari jawaban atas pertanyaan itu di dalam satu buku referensi bersama anak. Hal ini dapat menambah pengetahuan si anak dan memupuk kemampuan perpustakaannya.
  9. Selalu sediakan buku untuk babysitter. Pastikan dia tahu kalau tugasnya termasuk membacakan buku kepada si anak. Tunjukkan kalau hal ini lebih disukai daripada menonton TV.

Don’ts – Enggak Deh!
  1. Membacakan cerita kepada anak yang kita sendiri tidak suka. Ketidaksukaan akan tampak ketika anda membaca dan hal ini akan merugikan tujuan anda.
  2. Memilih satu buku yang sudah pernah didengar atau dilihat banyak anak di televisi. Sekali plot satu cerita diketahui, umumnya minat mereka akan hilang. Namun, anda bisa membacakan satu buku  dan menonton film/video kemudian. Ini cara yang baik bagi anak untuk melihat berapa banyak lagi yang bisa digambarkan di dalam cetakan daripada di film.
  3. Takut menghadapi pertanyaan ketika membacakan suatu cerita. Kalau pertanyaannya jelas, tidak bertujuan mengalihkan perhatian atau menunda waktu tidur, jawablah pertanyaan itu dengan sabar. Tidak ada batas untuk membacakan satu buku, tetapi ada batasan waktu bagi rasa keingintahuan anak.
  4. Menyamakan kuantitas dengan kualitas. Membacakan cerita kepada anak selama 10 menit dengan penuh perhatian dan antusias akan bisa bertahan lama di dalam benak anak daripada 2 jam sendirian menonton televisi.
  5. Menggunakan buku sebagai ancaman. Contohnya: “Kalau kamu tidak mau membersihkan kamarmu, tidak ada cerita untuk malam ini!”. Ketika anak melihat anda menggunakan buku sebagai senjata atau ancaman, mereka akan mengubah sikap mereka terhadap buku dari positif menjadi negatif.
  6. Coba-coba berkompetisi dengan buku. Kalau anda katakan,”Mau yang mana, cerita atau TV?”, mereka biasanya akan memilih yang terakhir. Jadi, jangan biarkan buku seolah-olah jadi kambing hitam atas batasan-batasan yang kita terapkan atau negoisasikan pada si anak.
Nah, kalau sudah tahu trik dan tipsnya, mendongeng jadi makin mudah menyenangkan bukan? Lagipula mendongeng adalah suatu keniscayaan jika menyadari manfaatnya bagi perkembangan kepribadian anak.

Selamat mendongeng, ayah bunda!   

 [1] Jim Trelease, Read Aloud! Handbook: Mencerdaskan Anak dengan Membacakan Cerita Sejak Dini

(diambil dari: Ayah bunda Berceritalah!, Kumpulan Dongeng Fabel, seri Milad Ulan ke-5 oleh Lukmanul Hakim dari beberapa sumber)

SEKOLAH UNTUK APA?

oleh: RHENALD KASALI (Ketua Program MM UI)

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak mencari sekolah. Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk ternyata banyak yang ”salah kamar”. Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan, yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah. Demikianlah, diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.

Bagaimana kalau uang tak ada

Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S-2. Jadi birokrat atau jenderal pun sekarang banyak yang ingin punya gelar S-3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA 30 tahun lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini. Sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya. Mengapa hanya soal memindahkan anak ke sekolah negeri lain saja lantaran pindah rumah biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.

Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini?

Kesadaran Membangun SDM
Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad sadar betul pentingnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Beliau pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S-2 dan S-3 ke berbagai negara maju. Hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai 10 tahun, lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya.Tak mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah. Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.

”Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di Erasmus.

Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat. Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? ”Mudah saja,” ujar dekan itu. ”Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,” ujarnya

Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di Selandia Baru. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di Selandia Baru. Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam 10 besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewawancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.

Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80 (betapapun stresnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek. Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan meng-copy isi buku dan catatan. Entah di mana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri, mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian?

”Undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di Selandia Baru.

Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan input-nya? ”Itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putra sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga. Maksudnya, tes masuk tetap ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi. Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan.

Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super di kedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif. Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masing-masing.

Bagi mereka yang bercita- cita menjadi dokter, biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik, dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA tahun pertama harus menguasai empat bidang sains (biologi, ilmu kimia, fisika, dan matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga, dan komputer.
Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressfull, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Seperti kurikulum program S-1 20 tahun lalu yang sejajar dengan program S-1 yang digabung hingga S-3 di Amerika.

Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, sehingga hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun. Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian, tapi tak ada masalah kok!

Di mana masalahnya?

Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala resources. Ilmu belajar menjadi lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru. Lifelong learning.

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, ”Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak 10 tahun lalu. Maka itu, sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode diperbarui, fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.

Masih banyak yang ingin saya diskusikan, tapi sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah dan untuk apa kita bersekolah?

FIRST DAY SCHOOL


oleh: Lukmanul Hakim

Sudah sepekan anak-anak kembali bersekolah. Rutinitas pun kembali berjalan normal. Menyiapkan baju, membuat sarapan dan membangunkan anak dari peraduan. Kadangkala disertai omelan karena si buah hati tersayang terasa lamban. Suasana pun jadi riuh, apalagi di jalan. Macet! (kok anak sekolah yang jadi kambing hitam ya?). Ada anak yang merindukan sekolahnya, ada yang biasa-biasa saja. Bagi yang baru pertama kali bersekolah atau yang menginjak jenjang berikutnya, hari itu adalah hari istimewa. Bukan hanya bagi anak itu sendiri, tetapi juga orang tua mereka.

Seorang teman bercerita tentang hari pertama anaknya bersekolah TK. Si kecil begitu bersemangat saat hendak berangkat dan pamit kepada ayah bundanya. Dengan penuh percaya diri ia berangkat dengan diantar Wak Abas, tukang becak langganannya. Namun, saat berbaris hendak masuk ruang kelas, si kecil menangis keras. Ada apa ya?
Nggak usah cemas, ini adalah peristiwa yang wajar dan bisa dialami oleh siapa saja.

Ke Sekolah Baru
Bayangkan saat kita berada di tempat baru atau lingkungan baru. Apa yang kita rasakan? Bingung, takut, nervous? Begitu pula anak-anak. Mungkin mereka merasakannya lebih serius karena – terutama jika masih kecil – belum memiliki pengalaman beradaptasi dalam suasana baru dan keterbatasan dalam bersosialisasi secara verbal.
Apa yang bisa kita bantu untuk mengurangi rasa ketakutan dan keterasingan mereka?
  1. Ikut sertakan si anak saat kita mencari dan men-survei sekolah untuknya. Dengar dan pertimbangkan aspirasinya (tak perlu harus jadi anggota DPR dulu, baru punya kepekaan untuk mendengarkan aspirasi, bukan?). Sesuatu yang anak suka pada sekolah pilihannya, bisa dijadikan entry point untuk membantu mengurangi kecemasannya.
  2. Sebelum sekolah dimulai, kita bisa mengajak anak kita tour untuk mengenal ‘calon’. Kita bisa mengajak si kecil berkeliling mengenali ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, kantin, tempat main, kamar mandi, toilet, dsb. Dengan pengenalan tata ruang dan lingkungan, anak akan menyadari bahwa nanti dia akan berada pada tempat dan suasana yang baru, tapi itu tak akan membuatnya cemas karena telah memiliki bekal pengetahuan tentangnya.
  3. Kita juga bisa mengajaknya berkenalan dengan guru atau karyawan yang sedang berada di sana saat kita melakukan tour. Cari tahu juga siapa saja teman-teman dari sekolah sebelumnya atau tetangga di dekat rumah yang juga bersekolah di sana. Anak-anak akan merasa aman dan mudah beradaptasi dan bersosialisasi jika ada kawan atau seseorang yang telah dikenalinya. Contoh terbaik untuk bersosialisasi adalah orang yang terdekat anak itu, yaitu kedua orang tuanya. Jadi, ayah-bunda mesti ‘rajin’ juga mencari teman atau berkenalan dengan calon guru-guru anak kita.
  4. Mengantarkan anak anak kita pada hari pertamanya bersekolah. Hal ini memberi kesan kepada sang anak bahwa kita memperhatikan, melindungi, dan menyertainya dalam menghadapi perubahan dan hal-hal yang baru dan asing baginya.
  5. Seperti di point 3, saat mengantarkan di hari pertama sekolah, kita bisa mengenalkan anak kita – terutama bila dia sendirian saja yang berasal dari sekolah sebelumnya – kepada anak-anak lain sekelasnya. Sepulang dari sekolah, boleh kita tanya bagaimana pertemanan mereka hari itu. 
  6. Dan lain-lain....
Masih banyak cara dan variasi agar membuat anak nyaman di hari pertamanya bersekolah. Apapun dan bagaimanapun carnya, yang terpenting sang anak harus bahagia. Terus membuat anak bahagia sejak dari rumah akan membantunya menghadapi perubahan dan hal-hal yang baru.
Selamat mencoba, ayah-bunda...