Selasa, 04 Agustus 2020

AYAH, DIMANAKAH ENGKAU?


Issue yang paling sering dilontarkan ibu-ibu adalah sulitnya mengajak para suami mereka untuk belajar bareng tentang anak keluarga. Mindset para ayah atau suami masih terdikotomi antara ayah bertugas utama sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai pendidik anak. Padahal dalam al Qur’an lebih banyak mencatat peran ayah dalam mendidik anak. Contoh yang terkenal adalah nasehat Lukmanul Hakim kepada anaknya. Ehem! Juga dialog tentang pelajaran tauhid antara Nabi Ibrahim dan Ismail yang menjadi dasar ibadah ritual qurban bagi umat Islam. Jadi, mestinya para ayah yang wajib belajar tentang parenting ya?

Memang ada idiom ibu adalah madrasah keluarga. Namun yang namanya madrasah mesti ada kepala sekolah yang memberi arah. Nah, para ayah inilah yang berperan sebagai kepala sekolah, yang bertanggung jawab terhadap madrasah, menentukan visi dan misi. Dalam masa Rasulullah, ketika menerima wahyu tentang anak, istri, atau keluarga, Rasul memanggil para ayah/suami untuk bertadabbur tentang ayat yang baru turun, Baru setelah dirasa cukup dipahami, para suami/ayah ini diminta pulang dan meneruskan informasi ini kepada istri dan anaknya.

Jadi bukan tanpa alasan ketika banyak pakar pendidikan menyatakan bahwa tugas utama seorang ayah bukanlah mencari nafkah, namun mendidik anak-anaknya. Maka diperlukan kemampuan mencari nafkah yang arif dan smart, agar sang ayah tetap berperan dan berfungsi sebagai pendidik dalam keluarganya. Ada beberapa teman yang lebih memfokuskan membersamai anak dan keluarga, justru karirnya moncer mentereng! …:)

Jadi apa sesungguhnya peran Ayah? Berikut disadur dari kajian Fitrah based Education ust. Harry Santosa:


  1. A Man of Mission and Vision
    Para ayah adalah pembuat misi keluarga, yaitu peran spesifik keluarga dalam peradaban. Umumnya misi peradaban keluarga diturunkan dari misi personal para ayah. Lihatlah di dalam Al Quran bagaimana Nabi Ibrahim AS adalah sang pembuat misi keluarga. Misi keluarga beliau diabadikan dalam doa-doanya, menjadikan anak dan keturunannya beriman dan beramal saleh. Kalau yang kekinian bisa diambil contoh keluarga Gen Halilintar yang mempunyai misi membangun bisnis dan menjadi pengusaha yang bertaqwa.
  1. Pensuplai Ego
    Seorang ayah diperlukan kehadirannya sebagai pensuplai ego bagi anak anaknya. Supply ego ini memberikan kemampuan leadership bagi anak anaknya, sementara ibu pemberi supply empati. Ayah dengan hadir dalam keluarga akan memberi keteladanan melalui sikap sikap yang berangkat dari fitrah keayahannya dengan menunjukkan ketegasan, pembelaan pada keluarga, ketegaan yang penuh cinta dll adalah supply ego yang berkesan bagi anak.
  1. Pembangun Struktur Berpikir Dan Rasionalitas
    Ayah dengan rasionalitas berfikirnya, berkontribusi membangun struktur berfikir bahkan inovasi di rumahnya atau di keluarganya. Kalau Ibu memberikan kemampuan emosional. Alangkah baiknya jika keluarga memiliki family knowledge atau kearifannya sendiri yang diwariskan turun temurun.
  1. Pensuplai Maskulinitas
    Para ayah diperlukan kehadirannya untuk memberikan suplai maskulinitas baik anak lelaki maupun anak perempuan. Ayah dan ibu harus hadir sepanjang usia anak sejak 0-15 tahun (aqil baligh). Anak lelaki pada usia 7-10 tahun memerlukan lebih banyak kedekatan pada ayahnya untuk menguatkan konsep fitrah kelelakiannya menjadi potensi peran seorang lelaki sejati. Dari 10 - 15 tahun anak perempuan dekat dengan ayahnya agar memperoleh sosok laki-laki yang bertanggung jawab. 
  1. Ayah Sang Raja Tega
    Pada usia 10 tahun ke atas, anak anak perlu diuji kemandirianya, keimanannya dgn beragam program, nah para ayahlah sang raja tega yang mampu memberikan tugas tugas berat untuk menguatkan potensi potensi anak menjadi peran peran peradabannya kelak. Dalam hal ini ibu sebagai “sang pembasuh luka” yang memberi penawar bagi keletihan dan obat bagi luka dalam menjalani ujian.
  1. Ayah Penanggungjawab & Konsultan Pendidikan
    Sesungguhnya ayahlah penanggungjawab pendidikan, yang merancang arah dan tujuan pendidikan keluarganya sesuai misi keluarganya. Ibulah yang kelak mendetailkannya menjadi proyek atau kegiatan harian. Secara fitrah bahasa, wanita lebih cerdas bahasa dibanding para lelaki. Wanita bicara 20000 perhari. Jadi ibu memang lebih banyak membersamai anak. Sebagai kepala sekolah, seorang ayah memang tidak harus mengetahui secara detail, namun  mesti bertanggung jawab. Dengan tidak terlibat secara detail, sang ayah dapat melihat secara jernih permasalahan keluarga.

Para ayah yang tidak mau atau sulit terlibat dalam proses mendidik anak anaknya, umumnya adalah para ayah yang tidak selesai dengan dirinya atau tidak bahagia menjalani karirnya walau sukses sekalipun, jadi mereka harus dibantu agar kembali fitrahnya dan banyak didoakan. Forum-forum keayahan harus banyak dibuat untuk membekali keyakinan dan kemampuan para ayah dalam mendidik anak anaknya. Komunitas ini juga harus bergerak membangun ekonomi bersama agar para ayah dapat mencari nafkah lebih smart.