Minggu, 27 Januari 2013

JAM #3: DI SELA-SELA TUGAS


Di tengah-tengah kesibukan beraktifitas, seringkah ayah-bunda teringat dengan buah hati di rumah? Tugas yang membuat kita terpaut jarak dengan anak-anak bukan lagi sebuah alasan untuk ketiadaberadaan peran orangtua. Alasan pembenaran bahwa bekerja tak kenal waktu sehingga tak ada waktu luang dengan anak justru untuk memenuhi kebutuhan anak itu sendiri sudah tak lagi relevan. Apalagi jaman sekarang teknologi memungkinkan jarak makin menyempit. Telepon adalah salah satu sarananya.
Berusaha menelepon anak setiap hari selain memastikan orangtua selalu available terrhadapnya, juga membuat anak terperhatikan. Tentu saja, kita menelepon pada jam-jam dimana anak sudah beristirahat dan tidak lelah. Pun tidak terus-terusan menelepon dan menanyakan hal-hal detail yang ia lakukan hari itu sehingga seolah-olah ia merasa diawasi. Tujuan untuk dekat dengan anak malah tak tercapai kalau kita berlaku seperti seorang ‘penguntit’. Saat menelepon Ulan, biasanya bunda menanyakan mood-nya hari itu, menyenangkan atau tidak. Biasanya si Ulan menjawabnya: “Menyenangkan, Bund! Hmm…itu sudah cukup untuk mengetahui perasaannya hari itu.
Selalu menyempatkan waktu untuk menelepon anak dari tempat kerja, menanyakan aktifitasnya hari itu, dan memastikan dia berbahagia adalah caraku untuk menjalin kedekatan dengannya.
Bagaimana denganmu?

Sabtu, 12 Januari 2013

JAM #2: KETIKA HARUS 'BERPISAH'...


Mungkin hal yang paling berat, terutama bagi orangtua yang bekerja, adalah saat berpisah dengan buah hati untuk pergi ke kantor. Apalagi bila si buah hati masih bayi, hiks..hiks..hiks.. Mencium dan memeluknya mampu menenangkan keduanya, orangtua dan buah hati. Peluk cium adalah sinyal kebahagiaan. Skin to skin contact antara orang tua dan anak seperti peluk cium akan membuat anak merasa aman dan nyaman. Anak secara langsung merasakan kehadirannya diharapkan, disayangi, sekaligus diperhatikan oleh kedua orangtuanya.
Ada sebuah kisah menarik. Suatu hari seorang Badui tercengang melihat Rasulullah mencium salah seorang anaknya. Ia pun berujar,”Wahai Rasulullah, saya mempunyai 10 anak, dan belum seorangpun dari mereka pernah aku cium”
Rasulullah bersabda,”Aku kuatir Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu. Barangsiapa yang tidak memberi kasih sayang, ia tidak berhak memperoleh kasih sayang”.
Selain peluk cium, ‘kata-kata perpisahan’ yang dianjurkan diucapkan ketika hendak meninggalkan sang anak di rumah atau setelah mengantarkannya ke sekolah adalah selamat berbahagia dan bersenang-senang. Setidaknya ada dua keuntungan:
  1. sebagai motivasi agar anak selalu riang dan bahagia. Jika senang dan bahagia, pelajaran akan mudah diterima
  2. sebagai motivasi diri sendiri untuk selalu berpikir positif sehingga hati selalu riang. Bukankah ucapan motivasi yang positif akan lebih berdampak bila yang mengucapkannya juga termotivasi lebih dahulu? 
Memeluk dan mencium anak (dan mengucapkan selamat berbahagia dan bersenang-senang) sebelum berangkat bekerja adalah salah satu caraku untuk akrab dengannya.
Bagaimana dengan kamu?

Rabu, 09 Januari 2013

RACE TO NOWHERE


RHENALD KASALI
Ketua Program MM Universitas Indonesia

Kita semua pernah bersekolah, demikian pula anak-anak kita. Di antara anak-anak itu tentu saja ada yang berotak encer dan tak banyak menemui masalah.
Namun harus diakui, semakin hari sekolah semakin menakutkan bila ujian tiba. Bukan hanya murid yang stress, guru dan orang tua pun gelisah. Bahkan setan hitam pun ikut gelisah. Jumlah siswa yang kerasukan di sekolah-sekolah semakin hari semakin besar sekali di sini. Dan anehnya selalu terjadi menjelang ujian. Mungkinkah semua persoalan itu terletak pada sistem pendidikan yang disebut Vicki Abeles sebagai sebuah race to nowhere? Ya, seperti perlombaan besar yang muaranya ”ya, nggak jadi apa-apa juga”.
Hidup kita jadi terbalik-balik. Yang sekolahnya dilalui dengan penuh kesungguhan bisa tak jadi apa-apa, sedangkan yang sekolahnya main-main malah bisa menjadi pejabat, politisi terkenal, atau bahkan pengusaha besar. Sulit kita melawan buku-buku populis yang mengajarkan cara-cara jalan pintas, cara goblok-nya Bob Sadino berwirausaha atau bahkan keluguan seorang motivator yang menyebutnya dengan judul besar di cover depan buku karangannya: The Power of Malas. Sungguh, ini sangat sulit! Mengapa sulit? Tentu bukan karena sekolah tidak penting, melainkan ada yang salah.

Perbaiki Sekolah
Vicki Abeles gelisah. Sebagai ibu rumah tangga ia tak habis pikir mengapa putrinya yang berusia 12 tahun sakit secara fisik hanya karena sekolah. Selama 3 tahun ia mencari jawabannya dengan mewawancarai anak-anak sekolah dan mahasiswa. Kumpulan wawancara itulah yang dijadikan Vicki sebagai film dokumenter yang diluncurkan tahun lalu. Di Amerika Serikat sendiri film dokumenter itu memicu perpecahan.
Namun Vicki berhasil mencuri perhatian sehingga para politikus dan pendidik mau memperbaiki persekolahan. Di banyak sekolah, metode pengajaran dibongkar. Sekolah-sekolah yang terlalu mengedepankan hafalan mulai merombak diri dengan memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk berpikir. Mata ajar biologi, fisika, dan kimia yang dianggap momok diubah menjadi mata ajar lab yang lebih fun. Anak didik dibuat belajar seperti seorang scientist berpikir, bukan menghafal. Namun di sekolah lain, guru-guru justru merasa sebaliknya: murid masih terlalu sedikit menghafal.
Di sekolah sekolah itu kegelisahan terjadi karena guru menolak cara lain selain hafalan. Di Indonesia, selain kerasukan setan menjelang ujian, keributan juga terjadi saat seorang siswa SMA 6 Bulungan Jakarta tewas terbunuh. Tawuran antar sekolah, bullying, aksi corat-coret sampai mencontek menjadi masalah sehari-hari. Anak-anak yang gelisah tak belajar dengan baik. Anak-anak kita paksa mempersiapkan masa depan lebih dari kemampuan mereka. Orang tua yang berambisi mengirim anak-anak ikut les di sana-sini bahkan memengaruhi guru agar anaknya tidak mengalami kesulitan di sekolah.
Di Amerika Serikat orang tua murid yang telah ”bertobat” dalam membimbing anak-anak dengan cara pabrikasi berbicara lantang: ”Saya khawatir kelak anak-anak akan memperadilankan kita, orang tua, karena telah mengambil masa kanak-kanak mereka”. Maka, ketika pemerintah di sini berencana mengurangi beban pelajaran siswa sekolah, ada rasa syukur di hati saya. Namun kalau pengurangan semata- mata dilakukan hanya untuk mengurangi jumlah subjeknya saja, bisa jadi kita akan bermuara ke nowhere juga.
Apalagi kita mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan masa depan anak dengan mempertahankan subjek-subjek yang hanya akan disampaikan secara kognitif belaka. Pengalaman saya sebagai pendidik menemukan, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar di masyarakat dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik.

Latih Berpikir
Maka, mata ajar yang terlalu bersifat menghafal perlu kita renungkan kembali. Guru-guru harus dilatih ulang. Sebab mereka sendiri telah dibentuk oleh sistem pendidikan menghafal yang sangat merisaukan. Guru dan murid harus berubah, dari menghafal menjadi berpikir. Melatih manusia berpikir adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sistem pendidikan nasional. Berpikir yang baik akan menghasilkan karya-karya besar meski berisiko tersesat. Tapi bukankah hanya orang tersesat saja yang berpikir?
Hanya orang-orang berpikirlah yang tidak mudah tertipu yang tidak menjadi manusia sempit yang picik, yang tidak memikirkan diri atau kelompok sendiri, dan tentu saja orang yang berpikir akan menjadimanusia kreatif. Jadi, bukan hanya mata ajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata ajaran pun perlu disempurnakan. Jadi saya kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki,termasuk cara berpikir guru dan orang tuanya..

Minggu, 06 Januari 2013

JAM#1: AWALI HARI DENGAN RIANG

Lagi berusaha untuk membuat buku dengan tema 1 Hari Dekat dengan Anak..Ini Caraku, Bagaimana Caramu? Berikut ini (draft) tulisan awalnya. Boleh diberi kritik dan saran ya... Thanks

Kukuruyuk…kukuruyuk…
Suara kokok ayam mulai terdengar. Burung-burung pun mulai riuh berkicau. Sebentar lagi matahari pagi bersinar. Semua mahluk Tuhan sepertinya telah bersiap diri beraktifitas. Ough! Tidak semua ternyata. Masih ada yang meringkuk di pembaringan. Sang anak masih terlelap karena tidur malam telat. Akankah kita berang dan menganggapnya malas, lalu membangunkannya dengan omelan dan muka seram?
Coba bayangkan jika pagi-pagi sudah dapat omelan, tentu membuat hati dongkol bukan? Jika tiap pagi mengomel, salah-salah oleh anak kita dibilang nenek sihir, he..he..
Hati yang dongkol membunuh kreatifitas. Karena itu, mengawali hari dengan suasana menyenangkan sangat perlu, terutama buat anak-anak yang membuatnya merasa tenang dan nyaman. Dengan pikiran yang tenang –  tidak gondog atau sebal – anak siap berangkat ke sekolah atau beraktifitas.
Bagaimana supaya kita tidak terpicu mengomel dan membuat suasana menyenangkan? Hal-hal berikut bisa diawali:
  1. Selalu berpikir positif setelah bangun tidur. Pikiran positif membangun energi positif dan optimis. Ini adalah langkah awal yang efektif untuk membuat suasana yang menyenangkan.
  2. Membiasakan si anak untuk membuat dan mempersiapkan rencana kegiatan sebelum tidur sehingga tidak terburu-buru di esok harinya.
  3. Selalu memotivasi anak untuk melakukan hal-hal yang luar biasa dan menyenangkan di esok hari sehingga ia terpacu untuk bangun lebih awal dan bergegas melaksanakan rencananya.    

Nah, alih-alih mengomeli anak, kita bisa mendatangi kamarnya, membangunkan dengan elusan di kepala dan ciuman hangat di pipi, kemudian membimbingnya membaca doa bangun tidur.
Ini caraku untuk membangun kedekatan dengannya, bagaimana caramu?

Rabu, 02 Januari 2013

FINANCIAL LEARNING FOR (MY) KID


Setelah belajar tentang uang di kelas 3 semester pertama dan praktek belanja secara langsung dengan voucher (baca: http://www.busur-panah.blogspot.com/2012/11/fun-math-learning.html), Ulan makin mengenal nilai nominal uang. Ia mulai membanding-bandingkan harga jika menginginkan sesuatu. Rupanya ia sudah mengenal konsep uang, jadi mulai bisa dipercaya memegang uang sendiri.
Memang, per awal Januari ini sepakat untuk memberi Ulan uang saku selama 1 minggu. Dalam satu minggu itu Ulan bebas membelanjakan uang sakunya, namun tidak boleh meminta lagi sampai hari Senin berikutnya. Maka, ia mesti bijaksana mengelolanya. Ayah meminta Ulan membuat anggaran selama 1 minggu. Awalnya, ia mengajukan anggaran sebesar Rp 15000 berdasarkan uang sakunya setiap hari, namun direvisi menjadi Rp 25000 untuk alokasi infaq tiap hari Jum’at dan dana cadangan. Ya, bolehlah…
Anak seusia Ulan, 7 – 8 tahun, sudah rutin mengkonsumsi barang. Entah itu belanja sendiri atau minta kepada orangtua. Mereka mudah tergiur dengan produk baru, kemasan yang menarik, atau karakter yang popular. Mereka pun mudah dipengaruhi oleh teman-teman seiring dengan pencarian identitas diri dalam suatu kelompok. Jika salah seorang dari kelompok itu memiliki mainan baru yang menarik, biasanya akan diikuti oleh yang lainnya. Karena itu, memberi pengetahuan tentang finansial kepada anak sejak dini amat penting supaya anak tidak tumbuh sebagai konsumen yang konsumtif.
Beberapa manfaat memberi kepercayaan kepada anak untuk mengelola uang saku sendiri antara lain:
  1. Anak mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan adalah segala sesuatu yang bermanfaat untuk melancarkan tugas, sedangkan keinginan sesuatu yang ingin dimiliki, namun belum tentu bermanfaat.
  2. Anak belajar tidak konsumtif. Dengan mampu membedakan keinginan dan kebutuhan, anak akan menggunakan uangnya untuk keperluan yang benar-benar ia butuhkan.
  3. Anak belajar skala prioritas dalam merencanakan pengeluarannya.
  4. Dengan mengingatkan untuk mengalokasikan dana sosial dan investasi (menabung) dalam anggaran uang sakunya, anak didorong untuk bersifat sosial dan merencanakan masa depan.
Agar pelajaran finansial pada anak berjalan efektif, orangtua harus menjadi contoh yang baik bagi mereka dalam mengelola uang dengan bijaksana.
Sebagai tambahan berikut ini miskonsepsi tentang uang yang dikutip dari blog Roslina Verauli, MPsi.
  1. Uang bukan untuk anak-anak. Sebagian orangtua dengan sengaja tidak memberikan anak uang dengan alasan anak tidak mampu menyimpan dan mengelola uang. Beberapa orangtua tidak memberikan uang untuk mencegah anak agar tidak membeli camilan atau snack yang tidak sehat. Padahal tindakan ini justru membuat anak makin tidak paham tentang uang dan terdorong untuk sukar mengendalikan dirinya sendiri.
  2. Uang mudah diperoleh. Seolah-olah orangtua membuat anak mengira uang mudah diperoleh. Terkadang tindakan ini tidak disengaja. Ketika mengambil uang dari ATM, pastikan si anak paham bahwa uang dari mesin ATM itu adalah uang yang kita simpan dengan menabung dulu di Bank.
  3. Uang semata untuk jajan. Penggunakan istilah uang jajan adalah tidak tepat. Seolah-olah uang diberikan kepada anak dengan tujuan untuk dibelikan jajanan. Padahal uang yang diberikan itu tidak hanya untuk jajan, tetapi juga untuk ditabung. Jadi, penggunaan istilah uang saku rasanya lebih tepat.
Bagaimana ayah-bunda? Sudah siap memberi kepercayaan pengelolaan uang saku kepada anak?

griajakarta b1-26, 2 Januari 2012