Selasa, 06 September 2011

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON

oleh: Lukmanul Hakim 
Film How To Train Your Dragon (2010) mengambil setting kehidupan bangsa Viking di jaman dahulu. Saat itu bangsa Viking sedang bermusuhan dengan gerombolan naga yang menyerang desa dan mencuri ternak mereka. Untuk menghadapi ancaman perusuh itu, setiap remaja Viking diberi pelatihan dan pengetahuan tentang naga dan dilatih untuk menjadi pembunuh naga seperti generasi mereka sebelumnya.
Dari sekian banyak naga, yang paling ditakuti adalah Night Fury. Pesan dari tetuah Viking: engkau harus melawan setiap naga yang datang, namun jika itu Night Fury, perlawanan terbaik adalah bersembunyi dan berharap tak diketahui.
Adalah seorang remaja, Hiccup, yang juga berhasrat menjadi jagoan pembunuh naga. Keinginan menjadi pembunuh naga lebih dikarenakan kondisi lingkungan dan obsesi orangtuanya dibandingkan dengan passion dalam diri Hiccup sendiri. Tak seperti anak lain yang kekar, garang, dan mengandalkan kekuatan otot, Hiccup berpostur ceking, terlihat lemah, dan mudah iba. Tak sesuai dengan stereotip bangsa Viking. Bakatnya justru sebagai mekanik yang mampu membuat alat yang efektif. Namun, kemampuan itu dipandang sebelah mata oleh masyarakat desanya karena dianggap nyleneh dan tak sama dengan kebiasaan yang berlaku.
Dengan kemampuan yang ‘terbatas’ itu, Hiccup dianggap sebagai noda. Tidak hanya bagi bangsa Viking, tetapi terutama juga bagi ayahnya yang juga kepala suku Viking. Label pecundang menjadikan Hiccup inferior. Apapun yang dilakukan untuk menjadi jagoan pembunuh naga membuatnya semakin banyak ditertawakan. Namun ia tetap menekuni minat sebagai perancang alat penakluk naga.
Dalam sebuah invasi gerombolan naga ke pemukiman bangsa Viking, Hiccup bermaksud ikut berperang dengan menggunakan alat baru ciptaannya. Saat sekelebatan bayangan Night Fury – naga siluman yang ditakuti – terlihat, Hiccup menembakkan alatnya dan tepat mengenai sasaran. Walaupun ia berusaha mengatakan pada kaumnya bahwa senjata ciptaannya berhasil mengenai Night Fury, mereka tak percaya. Stereotip yang terlanjur terbentuk tak mampu membuat kaum Viking percaya terhadap ucapan Hiccup.
Hiccup pun berusaha membuktikan penglihatannya sendiri dan meyakinkan kaumnya. Betapa terkejutnya ketika ia mengetahui senjata buatannya itu tidak hanya berhasil melumpuhkan naga siluman itu, tetapi juga melukainya hingga naga yang paling ditakuti itu terluka dan tidak berdaya. Namun, alih-alih membunuh untuk membuktikan keperkasaan, Hiccup justru mengobati naga itu dan kelak menjadi sahabatnya. Night Fury yang dipersepsi sangat berbahaya justru naga yang tak bergigi. Maka Hiccup pun memberi nama Toothless.
Kelak mereka bertiga - Hiccup, Toothless, dan Astrid, seorang remaja perempuan perkasa – merubah persepsi dan paradigma bangsa Viking tentang naga yang menyeramkan menjadi naga yang bersahabat.
---------------------
Apa moral cerita di atas dikaitkan dengan kita sebagai orangtua yang terus belajar menjadi lebih baik?
  1. Memilih dan menjadi berbeda tak selalu salah. Setiap anak memiliki minat dan keunikan sendiri yang mungkin berbeda dengan keinginan orangtua. Mungkin minat mereka terlihat tidak menjanjikan saat ini, tetapi siapa yang bisa menebak masa depan? Dulu profesi favorit adalah seputar insinyur, dokter, pilot, dsb. Sekarang banyak beragam profesi menjanjikan yang tak terbayang beberapa puluh tahun lampau, seperti chef, penulis, pekerja seni, motivator, presenter, anchor, olahragawan, dan lain-lain. 
  2. Passion. Temukan passion anak dan dukung sepenuhnya jika mereka telah menemukan passion-nya. Passion membuat anak melakukan aktifitas dan tugasnya dengan riang yang insyaAllah akan menumbuhkan dan mengembangkan potensi si anak yang mungkin masih terpendam. 
  3. Stereotip dan pemberian label negatif hanya akan membuat anak menjadi inferior dan menjadi orang aneh dalam lingkungannya. Jika anak merasa rendah diri, apapun yang dilakukan hanya untuk menyenangkan orangtua atau lingkungannya agar memperoleh pengakuan yang sama. Sayangnya, karena tertekan apapun yang dilakukan tak optimal. Dan justru hanya menambah keyakinan terhadap label atau stereotip negatif tersebut. Sebaliknya, anak bisa saja ‘melawan’ label negatif terhadap dirinya justru dengan melakukan apa yang dituduhkan terhadapnya. Jadi ayah bunda mesti berhati-hati jika berucap, jangan sampai anak memperoleh kesan negatif pada dirinya. 
  4. .............. (silakan ditambahi sendiri, ya...)   

Tidak ada komentar: