Minggu, 18 September 2011

MELURUSKAN ARAH ANAK PANAH

oleh Meilina Fitriawan pada 18 September 2011 jam 7:59
Ada yang terlihat tidak biasa ketika mengantar anak saya Naufal memasuki pintu gerbang sekolahnya minggu lalu. Saya mengamati sekeliling. Banyak gambar lebah tertempel di dinding, mengarah menuju school hall  di sebelah kiri. Seakan mengerti kebingungan saya, Naufal lalu berkata:
“Hari ini ada spelling bee competition, Bunda."
Ah ya, baru saya ingat. Sudah dua tahun terakhir ini sekolahnya menjadi tuan rumah penyelenggaraan spelling bee competition  untuk murid-murid Year 4, 5, 6  seluruh Primary Public School  di state NSW ini. Naufal yang tahun lalu masih Year-3  termasuk anggota tim spelling bee yang mewakili sekolahnya, bersama kawan-kawannya dari Year-4, dan 5. Spelling bee competition adalah kompetisi di bidang linguistik dimana pesertanya harus mengeja dengan benar sebuah kata yang diajukan oleh penguji di depan penonton. Pengujiannya berdasarkan sistem gugur, terdiri dari beberapa babak dengan tingkat kesulitan yang makin meningkat.
Persiapannya, menurut saya, cukup berat. Mereka harus mempelajari ejaan dari kumpulan vocabulary  sebanyak 11 halaman yang masing-masing halaman terdiri dari sekitar 100 kata. Tak pelak sayapun pontang panting dibuatnya. Bukan perkara mudah mendisiplinkan Naufal untuk mau melahap ejaan 1000-an kata dalam dua minggu saja. Tapi juga tidak sesulit menghiburnya supaya tidak berkecil hati karena tak bisa melaju ke babak ketiga tahun lalu.
Mendadak saya tersentak. Seperti baru tersadar bahwa minggu-minggu itu tidak sekalipun Naufal bercerita tentang kompetisi ini, apalagi membawa pulang berkas vocabulary  yang harus dipelajari pada kompetisi tahun ini.
"Naufal ikut?" tanya saya. Dia menggeleng.
"Kenapa?" tanya saya heran.
Sepengetahuan saya, guru-guru Naufal sering mengikutkan dia di berbagai kompetisi tingkat sekolah ataupun antar sekolah.
"Aku sudah bilang Ms. Rispoli kalau aku tidak ikut," jawabnya. Terdengar seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Kenapa?" tanya saya makin heran.
"Nggak kenapa-kenapa," jawabnya lagi, selalu begitu jika merasa tak punya alasan kuat terhadap sesuatu.
"Semua pasti ada alasannya," kata saya mengingatkan, sekaligus mendesak kejujurannya. Dia masih menggeleng.
"Kenapa tidak cerita Bunda kalau ada spelling bee competition  minggu ini?" tanya saya berganti arah.
Semula dia terlihat ragu menjawab. Tapi kemudian berkata dengan takut-takut:
"Kalau aku cerita, Bunda pasti force  aku untuk ikut."
"Bukan force, but suggest you," kata saya membetulkan. Kami memang terbiasa menggunakan bahasa campuran di percakapan sehari-hari (*kebiasaan buruk*).
"Jadi apa alasannya tidak ikut tahun ini?" tanya saya kembali pada topik semula. Saya masih menunggu kejujuran itu.
 “Karena last year  aku kalah. Dan kalau ikut lagi tahun ini, aku mesti practise, practise, and practise, " terangnya.
Jawaban yang mengejutkan saya. Seketika ada sesuatu yang hilang dari hati rasanya. Saya mencoba menahan diri dan menjelaskan kepadanya:
"Naufal, kalau tahun lalu kamu kalah, bukan berarti tahun ini kamu juga akan kalah lagi," tanpa sadar nada bicara saya sedikit lebih tinggi karena perubahan emosi yang saya coba tutupi. "Bunda lebih suka kamu ikut spelling bee, karena itu berarti kamu punya chance 50% untuk menang. Tapi jika kamu memutuskan untuk tidak ikut, maka chance-mu adalah 0%. Benar begitu?", ucap saya meminta persetujuan dan berharap dia mencerna apa yang saya maksudkan.
Dia mengangguk mengiyakan. Masih dalam diam.
"Bukan karena Bunda mengharuskanmu menang”, saya meneruskan, “Tapi Naufal belajar banyak dengan ikut spelling bee. Belajar vocabulary  baru, belajar menjaga semangat, dan belajar untuk tidak mudah menyerah. Soal menang atau kalah, itu biasa. Yang penting adalah kamu sudah berusaha. Mengerti, kan?"
Dia mengangguk lagi. Wajahnya masih ditekuk. Saya amati matanya berkaca-kaca. Saya menarik nafas panjang.
"Jadi, tahun depan ikut lagi atau tidak?" tanya saya lagi. 
Dia mengangguk. Sayapun tak ingin menahannya berlama-lama. Setelah mencium tangan dan mengucap salam, Naufal berlari menuju kawan-kawannya. Saya keluar dari area sekolahnya untuk menuju kampus saya.
Melewati sebuah taman kota luas, yang memisahkan dua suburb  dimana sekolahnya dan kampus saya berada, di sepanjang perjalanan kaki 10 menit itu saya merasakan kondisi psikologis yang menukik tajam. Sampai ke titik paling bawah. Tidak saya pungkiri, bahwa saya sedih mendengar jawabannya tadi yang terkesan putus asa dan kurang motivasi. Padahal sejauh ini, kami merasa telah 'melatihnya' di berbagai situasi untuk mempunyai fighting spirit  kuat dalam mencapai tujuan, dan tidak mudah menyerah pada kondisi di luar harapan. Tapi ternyata usaha kami tak berhasil pada masalah ini.
Saya mencoba berintrospeksi, menyalahkan diri sendiri yang 3 minggu terakhir ini kesulitan membagi waktu. Jadwal eksperimen  di lab yang semakin padat pada pertengahan tahun ketiga studi, persiapan simposium  dan konferensi yang akan saya ikuti, dan tenggat waktu  penulisan manuskrip yang beberapa kali harus revisi. Kalau saja di sela-sela semua itu saya mampu mengingat bahwa kompetisi spelling bee selalu diadakan di bulan September, mungkin jauh-jauh hari saya masih berkesempatan mengarahkan dia untuk membuang jauh-jauh anggapan pesimis itu. Sekali lagi saya menarik nafas panjang, mencoba mencari hikmah dibaliknya. Mungkin ini teguran-Nya agar fokus saya kembali pada tugas utama sebagai seorang ibu, bagaimanapun terbatasnya waktu yang saya punya. Saya berniat memperbaiki kesalahan ini dan bersyukur atas teguran-Nya itu. Seperti halnya tekad saya setelah mendengar protesnya untuk tidak lagi memintanya belajar terlalu keras mengeja ribuan kata sebagai persiapan pada kompetisi spelling bee  tahun depan.
Lantas saya teringat mata bulatnya yang berkaca-kaca..
Naufal, anakku, maafkan Bunda. Bukan maksud Bunda marah atas keputusan yang kau buat sendiri itu. Begitupun, Bunda tidak bermaksud memaksamu, ataupun tidak menghargai keputusanmu. Bukan..bukan. Bunda hanya ingin supaya kau selalu memiliki semangat yang kuat dalam meraih suatu kebaikan dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Mendidikmu dengan sebaik-baiknya adalah janji Bunda kepada-Nya dulu sewaktu bertahun-tahun memintamu untuk dipercayakan kepada kami, orangtuamu. Menjadi kewajiban kami untuk mengusahakan dan membuatmu selalu termotivasi dalam meraih tujuan hidupmu di dunia ini, terlebih di akhirat nanti. Supaya sedikit saja berkurang pertanggungjawaban kami di Yaumul Hisab yang amat berat itu. Dan supaya engkau tidak menuntut kami tentang hak-mu sebagai anak di hadapan-Nya kelak.
Ketahuilah bahwa semua yang kami lakukan selalu bertujuan untuk kebaikanmu, sekarang dan di masa depan. Kami hanya bermaksud menjadi sebuah busur yang kokoh untuk mengarahkan engkau, si anak panah. Agar di saat tiba waktu bagi anak panah itu untuk meninggalkan busurnya, dia mampu melesat tinggi dan mantap dengan kecepatan penuh, serta mengarah lurus..
  
 (terinspirasi oleh Kahlil Gibran di tulisan-tulisan rekan saya, Ulan Noor Lukman)

Tidak ada komentar: