Kalau aku nggak mengalah, nanti ada yang
ngambek dan nggak mau main lagi, Yah!
Terus permainannya berhenti. Nggak asyik dong!”. Itu jawaban Ulan, 8 tahun,
saat ditanya kenapa ia mengalah ketika dadu justru menunjukkan ia sebagai
pemenang dan berhak meneruskan permainan.
Sikap seperti itu kerap diperlihatkannya
ketika bermain bersama teman-teman dan menghadapi persoalan khas anak-anak.
Ulan memang bertipe plegmatis, suatu tipe dimana seseorang cenderung
menghindari konflik, suka mengalah, mampu mendamaikan, tak egois, dll. Satu
sikap yang dewasa ini diperlukan ketika sikap individual lebih didewakan.
Namun…
23 Desember 2012, BSR Swimming Pool.
Hari ini Ulan hendak berlomba renang bertajuk “Break Your Time Limit!”. Perlombaan itu antara anak-anak yang
berlatih di klub renang tersebut dan sebenarnya untuk mencatat kemajuan
prestasi selama berlatih di sana .
Jadi, gaya
renang yang pernah diajarkan dilombakan dan dicatat waktu tempuhnya. Ulan
berlomba dalam 4 lintasan: gaya bebas 1x25 m, gaya bebas 2x25m, gaya punggung
1x25m, dan gaya punggung 2x25 m.
Lomba pertama dimulai. Lima – enam anak bersiap di lintasan.
Priitttt! Byyurrr! Anak-anak pun melompat ke dalam air begitu aba-aba
dibunyikan. Bersemangat mereka mengayuh tangan dan menggerakkan kaki, berlomba
mencapai garis finish. Ulan berada di depan, berjarak cukup jauh dengan teman
di belakang. Sesekali ia menoleh untuk melihat posisi. Tiba-tiba ia
memperlambat kayuhan. Meskipun menyelesaikan lomba sebagai juara, ia membuat
penasaran sang ayah.
“Ulan hebat lho! Tadi cepat berenangnya
dan berhasil menyelesaikan lomba”, puji sang Ayah. “Tapi, tadi Ayah lihat Ulan
melambat. Kenapa?”
“O..tadi aku sempat lihat teman-teman.
Ternyata, mereka jauh di belakang. Jadi, aku pun mengalah supaya mereka tidak
terlalu jauh tertinggal”, ujar Ulan beralasan.
Alasan yang masuk akal dari pikiran anak
plegmatis. Namun rasanya ada yang kurang pas. Mesti perlu dijelaskan agar
‘kebaikan’ tersebut justru tidak berbalik merugikannya.
Lomba atau pertandingan memerlukan
sebuah kompetisi agar berjalan menarik dan menghasilkan seorang pemenang. Sang
pemenang mestinya memiliki kompetensi lebih dibandingkan yang lain pada bidang
tersebut. Bukan sekedar lebih cepat, lebih kuat, dan lebih tangkas untuk
mengalahkan lawan, tapi juga menantang diri sendiri untuk menjadi lebih baik.
Ketika seorang bermental juara bertanding, ia tak melihat mengalahkan lawan
sebagai sebuah pencapaian. Ia justru ‘mengabaikan’ hal-hal diluar dirinya yang
mungkin saja menurunkan semangat. Lawan dengan tampilan sempurna, prestasi yang
luar biasa, dan provokasi berlebihan jika tak dikelola dengan baik bisa
melemahkan. Alih-alih memikirkan hal itu, seluruh energinya terpusat untuk
mencapai hasil terbaik daripada yang pernah ia capai sebelumnya.
Kira-kira itu yang dikatakan sang ayah
kepada anaknya, Ulan. Tentu dengan bahasa yang sederhana. Untuk memudahkan Ulan
yang ber-type gaya belajar visual, ayah memberi
gambaran.
“Misalnya waktu tempuh saat Ulan berenang
sendirian 120 detik”, terang ayah sambil menggambar sebuah garis dan menuliskan
angka 120 di atasnya. “Lalu diadakan lomba agar Ulan bisa terpacu mempersingkat
waktu tempuh itu. Misalnya jadi 80 detik. Meskipun tidak finish di tempat
pertama, Ulan tetap juara secara telah berhasil lebih cepat disbanding sebelumnya.
Nah, kalau Ulan memperlambat kecepatan berenangnya, Ulan mungkin masih bisa
finish di tempat pertama dan jadi juara, tapi waktu tempuhnya sama 100 detik
atau bahkan lebih lama. Berarti kompetensinya tidak lebih baik. Jadi, dalam
bertanding selain bersaing dengan teman-teman, yang terutama adalah
berkompetisi dengan diri sendiri untuk jadi lebih baik. Paham?”
“Hmmm…paham-paham, Yah!”
Dengan bahasa lain, berkompetisi bukan
sekedar bersaing dan mengalahkan lawan, namun yang terutama adalah mengalahkan
keterbatasan diri untuk menjadi lebih baik.
Itu dalam hal berenang. Bisa juga lho dalam hal belajar. Bagi ayah bunda yang telah melihat
raport anak yang baru dibagikan minggu kemarin bolehlah tak disimak hanya
ranking dan angka-angka lain disana. Mungkin perlu juga diamati apakah si anak
berperilaku lebih baik, lebih mampu mencari solusi atas masalah yang
dihadapinya, atau lebih mandiri. Berhasil dalam kompetisi yang tergambar dalam
nilai atau angka semestinya terwujud dalam perilakunya. Itu baru kompeten…
Bukan begitu, ayah bunda?
griajakarta b1/26 ~
28 Des 2012
bacaan terkait: