Sebuah pesan terkirim ke Blackberry bunda Ulan. Dari
guru kelas Ulan yang menginformasikan bahwa semester ini Ulan termasuk dalam
ranking 3 besar paralel jenjang tiga. Alhamdulillah…bunda yang senang lalu
memberitahu Ulan, yang langsung memprotes begitu ia selesai membaca SMS itu.
“Ih, Bunda, kenapa memberitahu aku? Kata ustadzah kan
jangan dikasih tahu anaknya dulu. Kalau aku baru tahu pas dipanggil, kan
surprise jadinya!”
Rupanya bunda tidak membaca SMS lanjutan untuk menahan
diri agar tidak menginformasikan berita tersebut kepada sang anak. Mungkin saking
sukanya, bunda terlupa. Wajar bila bunda senang dan bangga kalau anaknya dapat
ranking, wong itu sebuah pengakuan
kok. Si anak pun merasa surprise dan gembira upayanya diakui dan membuat
orangtua bangga. Bahkan Ayah Ulan yang tak terlalu peduli dengan ranking kelas pun
merasa lega karena pengajaran yang diyakininya, yaitu bermain = berlajar dan
belajar sambil bermain, membuahkan hasil. Setidaknya secara kuantitas.
Setelah juara 3, apa selanjutnya?
Menarik untuk menyimak artikel Iwan Pranoto, Guru
Besar ITB, di harian Kompas 14./12/12: Kasmaran Berilmu Pengetahuan. Beliau mengatakan:
‘…para siswa yang
mempelajari mata pelajaran berdasarkan kurikulum baru harus berproses memahami
mata pelajaran itu untuk mengembangkan ketrampilan yang relevan dengan jaman
sekarang. Misalnya, mampu berpikir kritis dan merumuskan pertanyaan atau
menyampaikan argumen secara runtut, tertata, dan meyakinkan orang lain.
Peserta didik juga
perlu mengembangkan sikap-sikap universal, seperti gigih, berpikir luwes, dan menghargai
hak orang lain untuk berbeda pendapat…’
Pernyataan di atas sejalan dengan hasil dari proses belajar yang oleh
Munif Chatib dalam buku Orangtuanya Manusia dikategorikan dalam tiga bagian,
yaitu: perubahan perilaku anak menjadi lebih baik (behaviourism/affective), perubahan pola pikir (cognitivism), dan membangun konsep atau gagasan baru (constructivism/creativism) [baca: http://busur-panah.blogspot.com/2012/10/belajar-apa-hasilnya.html].
Maka, ketika Ayah Ulan mengapresiasi prestasi tersebut dan menantang
sang anak untuk berkompetisi dengan dirinya sendiri menjadi lebih baik – bukan hanya
sekedar angka peringkat, Ulan tak lagi kaget. Ia memang sudah tahu peringkat
bukanlah tujuan utama belajar. Ia lebih ditekankan untuk menjadi seorang
pembelajar [baca: http://busur-panah.blogspot.com/2012/07/ranking-kompetisi-dan-apresiasi.html]. Setelah berdiskusi ia pun setuju menjadi seorang pembelajar yang
bukan sekedar mencari angka dengan kesepakatan sebagai berikut:
1. Ulan harus mampu melerai teman-teman yang berselisih. Ini mengeksplorasi
karakter Ulan yang plegmatis, tak suka konflik dan mampu menjadi penengah yang
baik.
2. Kalau menginginkan sesuatu harus disertai dengan penjelasan kenapa
barang itu diminati dan apa manfaatnya untuk meyakinkan orangtua serta apa
mungkin dibuat sendiri. Ini dimaksudkan untuk mengajaknya berpikir logis,
runtut, belajar beragumentasi, dan mencari alternatif.
3. Mulai bulan Januari, Ulan akan diberi uang saku selama 1 minggu yang
diberikan tiap hari Senin. Ulan mesti mengatur sendiri pengeluarannnya. Tidak
ada penambahan uang saku jika uang tersebut habis sebelum hari Senin. Hal ini
melatih anak untuk mandiri dan menentukan prioritas dalam memenuhi kebutuhannya.
4. Komitmen dan konsisten dengan apa yang sudah dipilih. Ini untuk
mengingatkan sang anak agar tidak sekedar ‘ikutan teman’ dalam memilih bidang
yang ia sukai.
5. Sesekali – jika ayah atau bunda bertanya – Ulan bercerita tentang
teman-temannya. Ini bermanfaat untuk mengetahui dengan siapa saja si anak
berteman sekaligus melatihnya untuk mengetahui karakter orang.
Seru kan?
“Di rumah Ayah dan Bunda kan selalu mengajak Ulan untuk selalu berani. Tidak
pernah menakuti-nakuti”, ujar ayah. “Tapi, Ulan kadang-kadang masih ingin
ditemani kalau tidur. Selain di rumah, waktu yang lama adalah di sekolah,
maka kalau di rumah pengajarannya sudah benar, berarti ada yang salah selama di
sekolah. Mungkin gurunya yang tidak sengaja menakuti-nakuti atau dari
teman-teman Ulan yang mempengaruhi. Jadi, kalau belum bisa menimbulkan keberanian sendiri (baca:
mandiri), tidak ada gunanya bersekolah. Bagaimana menurut Ulan?”
Ayah Ulan memberikan dua pilihan untuk mandiri dengan berani tidur di
kamar sendiri atau ‘berhenti sementara’ bersekolah. Ayah Ulan tahu sang anak
sangat berbahagia di sekolah, senang bertemu dengan teman-temannya, suka
bercerita kepada guru. Jadi, sebenarnya sang anak hanya punya satu pilihan yang
telah ia tentukan.
Si anak berpikir keras. Ia tahu apa yang dimaksud oleh ayahnya. Menimbang-nimbang,
ia pun lekas berujar:
“Iya deh! Aku mau tidur sendiri. Tapi, Bunda mesti menemani aku dulu
sebelum pindah ke kamar sendiri”
Sipp! Learning to be learners has
being started…
griajakarta besatuduaenam, 18/12/12
2 komentar:
Saat ambil raport, malah Qaulan ranking 2. Senangnya si anak juga agak-agak heran. "Kok, bisa aku ranking 2 ya..". Itu pertama kalinya ia diberi tahu soal ranking-nya. Itu tandanya ia tidak ngoyo2 pas saat mau ujian saja...;) Gitu kali ya..
Malah si Ulan ranking 2 paralel, ternyata...
Posting Komentar