“Menurut Ayah kelas 3
nanti aku di kelas apa?”, tanyanya.
“Menurut penyelidikan
ayah sih, Ulan ada di kelas Ali”, jawab si ayah merujuk pada tokoh yang dia kagumi.
Gayanya si ayah memang sok misterius supaya si anak terus mengejar dengan
sebuah pertanyaan lanjutan.
“Menurutku sih juga
begitu, Yah! Apa yang membuat Ayah berpikir aku di kelas Ali?”, lanjut Ulan.
Lalu dijelaskanlah
seorang tokoh yang terkenal kecerdasannya namun sederhana. Pandai bertarung
namun amat pemaaf. Sebuah pesan tersirat agar Ulan mencontoh perilaku beliau.
Masuk ke aula,
beberapa anak berdiri di depan dengan senyum terkembang. O..itu anak-anak dari
jenjang V yang sedang memperoleh penghargaan. Mereka berada di urutan 1 – 10.
Sebelumnya sudah berderet maju dari jenjang I sampai IV. Semuanya membawa tas
sebagai hadiah. Juara 1 bahkan membawa sebuah piala.
Melihat wajah Ulan yang biasa-biasa saja, si Ayah jadi penasaran ingin tahu apakah sang anak tak ingin berusaha tampil di depan sebagai juara. Rupanya bukan hanya Ulan yang biasa-biasa saja, sebagian besar anak pun asyik dengan aktifitasnya sendiri. Tak begitu memperhatikan seremonial di depan. Hanya para ibu dan ayah yang menunjukkan hasrat agar sang anak bisa tampil di depan. Kalau bisa mulai tahun depan. Seremonial itu tampaknya penting bagi mereka sebagai pengakuan kesuksesan orang tua.
Melihat wajah Ulan yang biasa-biasa saja, si Ayah jadi penasaran ingin tahu apakah sang anak tak ingin berusaha tampil di depan sebagai juara. Rupanya bukan hanya Ulan yang biasa-biasa saja, sebagian besar anak pun asyik dengan aktifitasnya sendiri. Tak begitu memperhatikan seremonial di depan. Hanya para ibu dan ayah yang menunjukkan hasrat agar sang anak bisa tampil di depan. Kalau bisa mulai tahun depan. Seremonial itu tampaknya penting bagi mereka sebagai pengakuan kesuksesan orang tua.
Hmm…apakah Ulan dan anak-anak
lainnya kehilangan semangat berkompetisi dan masuk dalam kategori ranking 1 –
10? Atau bahkan jadi juara 1?
Sejak awal Ulan
memang sudah diberi bekal bahwa memperoleh angka yang disimbolkan dengan
ranking bukanlah tujuan utama. Ia lebih ditekankan untuk menjadi pencari
pengetahuan, selalu ingin tahu, termotivasi untuk memecahkan masalah, bersosialisasi,
dan memperbanyak teman. Makanya, orang tua Ulan terlupa (sebenarnya sengaja)
tidak menanyakan ia berada di ranking berapa kepada guru kelas. Mereka hanya
bertanya bagaimana hubungan Ulan dengan teman-temannya dan apakah dia suka
bertanya tentang hal-hal yang tidak ia mengerti atau sesuatu yang baru.
Dua pertanyaan itu terasa
cukup untuk mengetahui apakah si anak menikmati hari-harinya di sekolah. Tak
lupa pula titip pesan kepada sang guru agar mendorong anak mencari jawaban atas
suatu persoalan di luar buku teks.
Bagaimana dengan
kompetisi?
Kompetisi yang
menonjolkan usaha untuk mengalahkan orang lain sebagai tujuan utamanya
menghalangi kegembiraan dalam proses belajar. Akibatnya anak hanya akan
mengejar angka, dan melupakan makna. Kompetisi atau persaingan bahkan
bertentangan di dunia nyata saat lebih dibutuhkan usaha kerja sama dalam team
untuk mencapai kesuksesan.
Kompetisi mestinya
terjadi dalam diri anak itu sendiri sebagai motivator untuk menjadi lebih baik.
Lebih pada mengalahkan kelemahan diri sendiri. Jadi, anak terdorong untuk
melakukan yang terbaik terhadap apa yang dia mampu lakukan, bukan menjadi yang
terbaik dari apa yang orang (tua) harapkan.
Ketika mengambil
raport, orang tua Ulan juga meminta saran kepada sang guru kelas apa yang perlu
perbaiki. Mereka meminta Ulan untuk menyimak saran sang guru kelas yang
mengatakan ia harus lebih teliti lagi dan tidak terburu-buru mengerjakan soal.
Saat itu juga ia mulai berkompetisi terhadap dirinya sendiri tentang
ketidaktelitian. Orang tua Ulan yakin ia mampu mengatasinya. Keyakinan yang sama
persis ketika ia berhasil melawan rasa takut saat pertama kali menunggang kuda
dan belajar berenang.
Lalu apakah salah
memberikan apresiasi kepada anak-anak yang memperoleh predikat juara?
Juara yang identik
dengan penilaian terhadap sesuatu yang bisa diukur dan karena itu timbul
ranking dan angka adalah suatu kenyataan dalam pendidikan kita. Memberi
penghargaan terhadap sebuah prestasi adalah hal wajar untuk mendorong mereka
terus berkembang. Namun, karena sang anak adalah pribadi yang unik dan istimewa,
yang bukan hanya diukur dengan angka, memberi apresiasi pada
kelebihan-kelebihan yang lain patut juga diberikan. Bukankah Howard Gardner
menjelaskan bahwa ada 6 kecerdasan lainnya diluar kecerdasan kognitif?
Jadi usulannya adalah
setiap anak diberi piagam yang menyatakan kelebihan masing-masing (yang sepertinya
tak pernah dinilai secara serius oleh sekolah). Misalnya, anak yang suka
membantu diberi piagam penghargaan yang tertulis namanya dengan predikat PALING
SUKA MENOLONG, anak yang suka berderma dengan piagam PALING DERMAWAN, anak yang
tak bisa diam diberi penghargaan ANAK PALING AKTIF, sebaliknya anak yang diam
diberi predikat PALING COOL atau TENANG, yang jago menyanyi diberi julukan
KELAS IDOL, anak yang suka olahraga dan terobsesi dengan bola bolehlah diberi
predikat MESSI KECIL, dll.
Setiap anak yang
diakui harga dirinya akan merasa senang. Rasa senang membuat mereka mudah
menerima pelajaran. Maka adalah suatu keharusan bagi para guru, juga orang tua,
untuk mencermati karakter dan minat anak.
Setiap anak itu unik
dan istimewa. Mereka memiliki kecerdasannya masing-masing. Tak adil bila kita
tak mengakuinya.
Bukankah begitu, ayah
bunda?
griajakarta b1/26, 1
Juli 2012
1 komentar:
Yaaap setuju, tiap ortu pasti ingin anaknya sukses tp sukses itu jangan diidentikkan dengan nilai akademis yg hrs bagus. Banyak ortu yg memaksakan anak2nya ikut les mapel utk mengkatrol prestasi akademiknya, tak jarang banyak anak yg merasa tertekan. Kesuksesan seorang anak ditentukan byk hal peran ortu, dunia pendidikan, dan lingkungan sekitar yang akan membentuk pribadi dan karakter anak. Jangan jadikan anak sbg alat pamer jadikan anak sbg aset berharga dunia dan akhirat :)
Posting Komentar