Sangat jarang mengamati Ulan belajar dengan membaca
dan menyimak buku pelajarannya. Bahkan saat menghadapi ujian. Kalau ditanya
apakah ia sudah siap menghadapi test esok, ia segera menjawab:
“Tenang saja, Yah! Aku sudah siap”
Jawaban itu sungguh menentramkan. Setidaknya hal tersebut
menandakan anak tidak mengalami stress, terutama saat menghadapi ujian
seolah-olah ujian atau test adalah hantu yang siap menerkamnya. Orangtuanya pun
tak ketularan stress dan menjadi ‘polisi penjaga’ supaya sang anak belajar
dengan tenang (mungkin anak malah tak tenang karena sang bunda terus menerus
bertanya untuk menguji kemampuan anak menghafal, he..he..). Apalagi ketika
melihat angka-angka di laporan midtest kemarin, semakin percaya si anak memang
mengatakan yang sebenarnya.
Lalu, apakah belajar tidak penting?
Setiap anak pada hakekatnya adalah mahluk pembelajar. Mereka
dibekali dengan rasa ingin tahu yang besar. Hasrat memenuhi rasa ingin tahu
inilah yang membuat anak-anak berusaha memperoleh informasi untuk memenuhi
kebutuhan otaknya atau tuntutan perkembangan fisiknya. Nah, dalam memperoleh
informasi dalam rangka belajar itu setiap anak memiliki gaya belajar sendiri. Gaya
belajar adalah pola-pola tertentu bagaimana informasi dan materi yang
disampaikan dapat diterima anak dengan mudah. Orangtua seharusnya mengetahui
gaya belajar anak masing-masing sehingga membuat anak enjoy dan tak merasa tertekan ketika menemaninya belajar.
Ulan memiliki gaya belajar visual dan kinestetis.
Untuk mengakomodasi kebutuhannya tersebut, orangtua Ulan menyediakan banyak
buku, sering menonton dan berdiskusi tentang film, membuat kerajinan tangan, menawarkan
aktifitas dan yang membuatnya belajar dengan aplikasi langsung, dll. Untungnya,
setiap bulan sekolah Ulan memberikan spiderweb
yang berisi materi-materi pelajaran di bulan itu sehingga materi-materi yang orangtua
Ulan siapkan merujuk pada spiderweb
tersebut. Lagipula, Ulan cepat bosan kalau membaca buku teks.
Lalu, bagaimana mengukur hasil belajar anak?
Dalam bukunya Orangtuanya Manusia, Munif Chatib
mengatakan bahwa hasil belajar tidak terbatas pada perolehan angka pada
lembaran test atau ujian. Seyogyanya orangtua memaknai hasil belajar anak
sebagai berikut:
- Perubahan perilaku anak. Keberhasilan belajar tercapai jika sudah terjadi perubahan perilaku (behaviourism). Contohnya: saat belajar korupsi itu tidak baik, anak menjadi peduli dengan kejujuran.
- Perubahan Pola Pikir. Keberhasilan belajar anak tercapai jika sudah terjadi perubahan pola pikir (cognitivism). Sederhananya adalah perubahan pola pikir dari tidak tahu menjadi tahu, atau dari tidak bisa menjadi bisa.
- Membangun Konsep Baru. Keberhasilan belajar anak tercapai jika dia mampu memunculkan konsep baru yang berhubungan dengan pengetahuan awal yang telah dia terima (conctructivism).
Jika kita menemukan salah satu saja perubahan
tersebuat ada dalam diri anak, harus dikatakan bahwa sang anak telah berhasil
dalam belajarnya. Suatu hari ketika baru pulang kerja, Bunda sudah
ditanya oleh Ulan.
“Bunda sudah sholat Maghrib, belum?”
“Belum, Nak”, jawab Bunda yang memang saat itu sedang
berhalangan.
“Bunda jangan sampai meninggalkan sholat ya..resikonya
besar”, lanjut Ulan.
“Ulan sendiri bagaimana?”
“Sudah, dong! Kan aku sekarang makin rajin, Bund,
soalnya meninggalkan sholat itu resikonya besar. Kalau meninggalkan sholat Ashar,
kita ikut menghancurkan Ka’bah. Kalau meninggalkan sholat Dhuhur, sama dengan
membunuh 1000 orang Muslim lho!”
Itu adalah informasi yang dia terima dari sekolah dan
membekas hingga merubah perilakunya menjadi lebih baik. Jadi, ayah-bunda, hasil belajar tidak mellu dilihat
dari angka-angka di lembaran test.
Sipp!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar