Selasa, 01 November 2011

RIDE A HORSE: MENAKLUKKAN ‘RAKSASA KETIGA’

30/10/11 – 15.09
(status ini diberi ‘like’ oleh Nita Nurendah dan Ruhnia Uni Niati, dan dikomentari oleh Nita Nurendah, Cerah Unggun Nireya, Pai Ni, Ari Aditya Ari, An Diana Moedasir, dan Muhammad Husni) 
Sedari awal Ulan sudah mengingatkan untuk tidak diminta menunggang kuda saat mengetahui akan mengunjungi perkampungan cowboy ArrowHead setelah sesi acara ‘Ibuku, Sekolahku’ di Padepokan Lebah Putih selesai. Terlihat dari wajah dan upayanya untuk terus mengingatkan agar tidak disuruh menunggang kuda, ia merasa cemas.
Tiba di ArrowHead, Ulan dan teman-temannya diajak melihat-lihat kuda di istal. Ada kuda poni, ada kuda turunan murni, ada pula kuda blasteran lokal dan luar negeri. Kuda-kudanya kokoh dan gagah. Ulan tertarik dengan kuda warna hitam yang mengingatkannya pada kuda Andalusia hitam milik Zorro, tokoh hero imajinatif yang pernah ia lihat di film.
Setelah berkeliling dan melihat orang-orang yang sedang berlatih, timbul sedikit keinginannya. Rasa ingin tahu – yang wajar pada anak – mulai mengalahkan ketakutannya.
“Separuh hatiku ingin, tapi separuh lagi masih takut-takut, Yah!”, ujarnya.
Memahami apa yang dirasakannya, kami mengatakan bahwa ia anak yang hebat dan mencoba memberikan gambaran tentang keahlian berkuda. Lantas, ia bertanya:
“Yah, kalau berenang kan aku sudah tahu manfaatnya. Misalnya, kalau aku dikepung penjahat, terus jalan keluarnya cuma lewat sungai, kan aku bisa nyebur terus berenang. Nah, kalau sudah ahli berkuda, aku bisa melakukan apa?”
Hmm..ini pertanyaan kritis sekaligus formalitas karena terbersit jika Ulan sudah menentukan sikap dan sekedar membutuhkan penegasan untuk memperkuat keputusannya. Meskipun demikian, jawaban terhadap pertanyaan tersebut haruslah logis dan mudah dipahami. Maka, kami pun menjawab bahwa menunggang kuda itu juga melatih emosi. Kuda tak akan mau ditunggangi jika emosi kita tak stabil (kami sempat bercerita tentang film Horse Whisperer). Selain itu, menunggang kuda juga melatih kepemimpinan. Karena kuda memiliki emosi dan keinginan, maka bisa saja ia berbelok ke kiri saat kita menyuruhnya ke kanan. Karena itu diperlukan sikap kepemimpinan agar kuda bisa dikendalikan. Lalu, kami analogikan kuda-kuda itu dengan teman-teman yang memiliki emosi dan keinginan masing-masing yang seringkali berbeda-beda. Nah, jika memiliki sifat kepemimpinan – yang bisa dilatih dengan berkuda – Ulan bisa mengendalikan keinginan-keinginan itu sehingga tidak sering cekcok saat bermain.
Ulan manggut-manggut, berpikir keras (terlihat dari gaya berpikirnya) dan...bilang, “Ya deh, aku mau!”
------------------------------------
Dalam bukunya Facing Your Giants (2006), Max Lucado mengatakan bahwa setiap manusia setidaknya menghadapi  3 raksasa dalam hidupnya, yaitu: limiting beliefs, goal distraction, dan fear. Ketakutan bisa menimpa siapa saja, baik orang dewasa maupun anak-anak. Orang bijak bilang satu-satunya melawan ketakutan adalah dengan melakukan apa yang ditakuti itu. Atau mengutip buku Who Moved My Cheese-nya Dr. Spencer Johnson adalah dengan menjawab pertanyaan berikut: ‘Apa yang aku lakukan jika aku tidak takut?’. Jawaban dari pertanyaan itulah yang mesti dilakukan untuk mengatasi ketakutan.
Fear = Fantasized Experiences Appear Real (pengalaman-pengalaman fantasi yang terlihat seperti nyata).
Bagaimana mendorong anak untuk mengatasi rasa takutnya?
1.   Umumnya anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan rasa ingin tahu ini seringkali mengatasi rasa takutnya. Jadi, sebelum melakukan sesuatu yang membuatnya masih merasa takut, kita bisa menginformasikan seputar hal itu dan membiarkannya bertanya. Semakin tahu ia tentang hal yang akan dilakukan, semakin membuatnya merasa tenang dan percaya diri.
Ulan diajak berkeliling mengamati dan diberi informasi tentang kuda sehingga keinginannya untuk mencoba tumbuh lebih kuat dibandingkan ketakutannya.
2.   Tergantung tipe anak, informasi bisa lebih ditekankan pada salah satu aspek. Anak bertipe seeing is believing, lebih yakin bila melihat bukti dulu dibandingkan meyakinkan dengan agumentasi lisan. Sedangkan anak believing is seeing, mesti diyakinkan lebih dulu dengan argumentasi yang kokoh tentang manfaat, tentang keasyikan, tentang keamanan, tentang apa saja yang membuatnya tertarik.
Ulan perlu tahu manfaat praktis bila bisa menunggang kuda dan lalu melihat teman-teman yang telah pandai berkuda berlatih sebelum memutuskan untuk mencoba sendiri.
3.  Contoh dari orangtua adalah amat efektif. Kalau orang tua telah melakukan aktifitas yang akan dilakukan, anak tak akan menganggap kita hanya besar mulut saja.
Nah, jika kita ingin dan mendorong anak agar percaya diri dan berani tampil di depan publik - misalnya mengikuti lomba, dsb. -  sudahkah kita, para orangtua, memberi contoh untuk aktif tampil di depan pubik juga?   
Sebenarnya, ini bukan pertama kali Ulan menaklukkan ‘raksasa ketiga’. Sebelumnya ia telah melakukan lompatan dari atas lemari dan menjangkau langit-langit rumah melalui kisi-kisi pintu. Manteranya adalah: ‘Aku kumpulkan keberanian. Yess!”

(taken from: qaulan sadiida on facebook: bercermin pada anak-anak..) 

Tidak ada komentar: