Sabtu, 02 Juni 2012

TAKUT SAMA ORANGTUANYA SENDIRI? MASA SIH?!


Seorang teman bercerita tentang anaknya yang mendapat tugas hafalan surah al Bayyinah. Asyik bermain, sang anak lupa akan tugasnya dan baru memberitahu orangtuanya menjelang hari H. Sang ayah pun memarahi anak tersebut. Iseng-iseng saya bertanya apakah si ayah juga hafal surah tersebut, yang dijawab oleh si ibu:
“Enggak!”
“Apa si anak tidak protes?”, tanya saya ingin tahu.
“Ah, takut dia”.
Takut? Hmm...setahun lalu Si Ulan, anak kami yang sekarang berusia 8 tahun, pernah mengoreksi bacaan bahkan memprotes saat bacaan surah pendek bundanya yang mengimami sholat Maghrib hanya itu-itu saja.
“Biar aku saja, Bund, yang jadi imam!”, usulnya.
Apa yang membuat anak merasa takut mengeluarkan pendapat di hadapan orangtuanya?
1. Anak takut biasanya saat orangtua sedang kesal atau marah. Suara keras saat marah membuat anak kaget dan ciut nyalinya. Alih-alih menyampaikan pendapat, anak mungkin memilih diam.
2. Orangtua yang bersikap otoriter dalam menerapkan aturan dan disiplin. Orangtua yang bersikap berkuasa, yang kehendaknya mesti dituruti tanpa mempertimbangkan pendapat dan keinginan anak, membuatnya menjadi malas beragumentasi karena merasa tak ada guna.
3. Anak tak memperoleh kesempatan mengutarakan pendapatnya karena selalu diinterupsi ketika hendak berbicara. Umumnya orangtua tipe ini tanpa sengaja telah memberikan stempel ‘anak selalu salah dan orangtua selalu benar’.
Intinya adalah komunikasi atau dialog. Berikut ini tips untuk berkomunikasi dengan anak:
1. Jadi pendengar yang baik. Umumnya anak-anak memiliki banyak hal yang hendak dibicarakan, apalagi saat beranjak remaja. Mereka membutuhkan pendengar yang dapat memahami uneg-uneg di hati mereka (baca juga http://busur-panah.blogspot.com/2011/09/di-ignore.html).  
2. Terlibat dengan anak. Tunjukkan kita selalu siap terlibat dengan dunia dan apa yang jadi minatnya. Aktif berdiskusi dan melihat sesuatu dari perspektif anak agar mudah memahami maksud mereka.
3. Dorong anak untuk berbicara. Jangan menunjukkan sifat dominan saat anak berbicara atau menginterupsi sebelum dia selesai berbicara. Ajukan pertanyaan sederhana yang membuat anak merasa nyaman menjawabnya dan terus mengutarakan pendapat.
4. .....(silakan dilengkapi sendiri ya, sesuai dengan pengalaman masing-masing)
Saat ini sedang membaca buku David Gilmour, The Film Club (2008), tentang hubungan seorang ayah dan anak yang sedang beranjak dewasa. Buku ini bercerita tentang komunikasi dalam mendidik anak – yang jauh dari kesan menggurui – melalui media film-film yang mereka tonton bersama. Pada salah satu bagian diceritakan sang anak yang merasa sang ayah yang terlalu otoriter dan membuatnya merasa takut yang melebihi rasa segan. Dengan menonton salah satu adegan dari film Magnum Force (1973) yang dibintangi Clint Eastwood sebagai media berkomunikasi, mereka menyelesaikan masalah.
Seru juga ya, berkomunikasi dengan anak melalui media atau hobby yang mereka suka. Bisa lebih efektif! Kebetulan Ulan dan ayahnya suka nonton film (dan dengerin musik), bolehlah kedua minat yang sama ini dijadikan media untuk berkomunikasi.
Bagaimana dengan ayah-bunda?

GJ, 02 Juni 2012

      



1 komentar:

Lukmanul Hakim mengatakan...

Vici Savitri mengomentari (via FB): nambahin yah... saat anak selesai menceritakan masalah ortu sebaiknya tdk lgsg menyalahkan sang anak... kalaupun anaknya salah, beritahu dgn cara yg baik sehingga ia mengerti kesalahannya sehingga tdk mengulangi kesalahan tsb dan tdk kapok cerita pda ortunya...