04/11/10
– 05.57
(status ini diberi ‘Like’ oleh Inayaty
Suryadarma dan dikomentari oleh Ruhnia Uni Niati)
Sudah pasti orangtua takkan punya pikiran untuk
mengabaikan anak. Sebaliknya, banyak yang terlalu memanjakan mereka. Bahkan ada
pula yang cenderung over-protective.
Namun, tanpa disadari kita tak jarang melakukan hal tersebut dengan alasan tak
ada waktu, sibuk, atau lelah.
Sebuah
self-introspective story. Pagi ini
dengan antusias Ulan bercerita tentang kegiatan menggosok gigi di sekolah yang
diadakan pada hari Rabu kemarin. Karena kerap punya ide sendiri, si ayah – yang
sedang menyaksikan berita sepakbola di TV dan tak fokus pada cerita anak – pun
bertanya apakah program ini dari sekolah atau inisiatif Ulan dan
kawan-kawannya. Tak menjawab, Ulan malah bertanya kepada bundanya:
“Bunda
paham tidak apa yang tadi aku ceritakan?”
“Maaf,
ya, Nak! Bunda kan lagi bantu mbak Suci masak. Jadi, nggak perhatikan deh!”,
ujar bunda.
Merasa
sudah menceritakan kegiatan ini sedetail mungkin, sambil geleng-geleng kepala
Ulan merespon ‘pengabaian’ ini dengan bergaya bak orang dewasa:
“Ck..ck..ck..orang
tuaku tidak mengerti juga!”
Konon
ketika hendak menciptakan manusia, Tuhan mendesain agar ciptaan yang paling
agung ini memilki kepekaan lebih untuk mendengarkan ketimbang berbicara. Maka
dilengkapilah dua telinga dan 1 mulut pada karya masterpiece-NYA itu. Jika mulut
lebih mendominasi telinga, apalagi bila membungkam peran telinga, maka itu
adalah pelanggaran fitrah. Adalah menjadi ‘dosa besar’ bila hal itu dilakukan
pada anak: tidak mendengarkan (baca: mengabaikan).
Anak-anak
secara fitrah memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka bereksplorasi untuk
memenuhi keinginan-tahunya. Semakin sering mereka bereksplorasi, semakin banyak
pertanyaan yang butuh penjelasan dan kemungkinan besar semakin sering pula mereka
bercerita. Jika kita abai terhadap keinginannya untuk didengar, anak akan
menganggap kita tidak menghargainya. Akibatnya mereka akan malas bicara dan
mencari seseorang yang dianggap mampu mendengarkan mereka.
Seseorang itu dapat membentuk perilakunya, baik perilaku baik atau buruk tergantung pada input yang ia dengar dan terima. Tentunya, kita ingin anak-anak kita memperoleh input yang baik dan benar. Terutama dari kita, orangtuanya, bukan?
Berikut
ini ada beberapa tips bijak untuk mendengarkan anak:
- Membungkukkan
badan bila perlu berjongkok sehingga lebih dekat dengan anak saat mendengarkan
anak berbicara. Usahakan pandangan mata sejajar dengan anak sehingga mereka
merasa setara.
- Mengadakan
kontak mata dengan anak.
- Tersenyum
atau menunjukkan ekspresi wajah yang sesuai dengan perasaan yang disampaikan
anak lewat ceritanya. Hal ini membuat anak merasa aman dan nyaman karena diperhatikan.
- Menanggapi
dengan nada bicara yang ekspresif dan menunjukkan antusiasme, tidak dengan nada
datar. Hal ini membuat anak merasa nyaman karena merasa orangtua mengerti dengan
apa yang ingin mereka ungkapkan.
- Tidak
memotong pembicaraan anak, meski mungkin merasa tidak sependapat dengan anak
atau menganggap bahwa apa yang dibicarakan anak bukan sesuatu hal yang penting.
- Re-statement cerita anak untuk
menyamakan persepsi. Jika anak sudah selesai bercerita, coba ambil kesimpulan
yang bisa kita tangkap dari ceritanya. Hal ini untuk memastikan bahwa apa yang
ingin diungkapkan oleh anak lewat ceritanya tersampaikan dengan persepsi yang
sama.
- Ajarkan
anak Anda cara menghargai orang lain, dengan juga menghargainya dan
mendengarkannya ketika anak berbicara.
Anak
yang didengar dan dihargai orangtua saat ia berbicara, kelak ia akan menjadi
pendengar yang baik dan menghargai orang lain berbicara.
Yuks, ayah-bunda kita belajar menjadi pendengar
yang baik bagi anak-anak
(taken from: qaulan sadiida on facebook: bercermin pada anak-anak...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar