“PR itu mestinya membuat anak jadi pintar, bukan malah
menyusahkan!”, celetuk ibu Agus dalam film Cita-citaku Setinggi Tanah (thanks
to endahNrhesa for The Gala Premeire & 24 free vouchers).
Salah satu cara guru untuk memastikan anak-anak
didiknya belajar dan memahami pelajaran yang diajarkan di sekolah adalah
memberikan tugas tambahan yang dikerjakan di rumah. Itu namanya PR, pekerjaan
rumah. Mungkin bagi si anak yang telah bersekolah seharian, PR amat mengganggu
karena menyita waktu bermain bersama teman dan bersantai bersama keluarga. PR
menambah beban anak dan mengurangi interaksi yang wajar kepada teman dan
keluarganya.
Ternyata, PR sekolah anak juga berpotensi mengganggu
orangtuanya. Seringkali kita dengar keluhan orangtua yang harus menemani anak
mengerjakan tugas sekolahnya setelah sehari penuh bekerja di kantor. Bahkan
ikut mengerjakannya ketika sang anak sudah merasa suntuk dan kecapekan. Jika
demikian, PR menjadi tidak adil bagi keduanya. Tidak membuat pintar, tapi malah
menyusahkan.
Lagu, bagaimana PR itu seharusnya?
PR sebenarnya wajar diberikan guru kepada siswanya
dengan batasan-batasan tertentu. Menurut Munif Chatib dalam buku Orangtuanya
Manusia, PR seharusnya:
1. Student Centre, bukan Teacher Centre
Student Centre
maksudnya PR diberikan berdasarkan beban kerja siswa, bukan berdasarkan beban
kerja pengajar. Jika dalam satu hari ada 5 bidang studi dan masing-masing guru
memberikan PR, siswa akan menerima lima beban PR pada hari itu. Itu yang
disebut teacher centre. Mestinya,
anak hanya menerima beban yang sesuai sehingga tidak semua guru member PR pada
hari itu.
2. PR berupa proyek yang menyenangkan
Banyak PR
berbentuk mengajarkan soal-soal di lembar kerja siswa (LKS) dengan ranah kognitif,
yang berarti hanya melanjutkan tugas yang belum selesai di sekolah untuk
dikerjakan di rumah (wajar bila anak bosan dan terganggu). Akan lebih menarik
dan menstimulasi unsur belajar lainnya dari sang anak (selain kognitif, ada
juga perilaku dan konstruksi konsep) jika tugas yang diberikan berupa project yang berhubungan dengan
kompetensi dasar yang diharapkan tuntas pada setiap bidang studi. Proyek bisa
dilakukan secara berkelompok dan dikumpulkan dalam waktu tertentu, misalnya
dalam waktu dua minggu. Menceritakan tentang cita-cita sebagai PR bidang studi
bahasa Indonesia dalam film Cita-citaku Setinggi Tanah adalah salah satu contoh
sebuah PR proyek.
Contoh lainnya:
·
Melakukan riset sosial
dengan tema sesuai kompetensi dasar bidang studi
·
Analisa sinteron
televisi, yaitu untuk mengetahui karakter positif, karakter negatif, alur
cerita, inti pesan, dan akhirnya menyimpulkan apakah sinetron tersebut layak
tayang dan dilihat atau tidak.
·
Membat inventarisasi
dapur, yaitu melatih kemampuan anak dalam berhitung dan memilah dengan cara mencatat
benda-benda yang berada di dapur.
·
Dll.
Nah, tahukan beda PR yang berupa project
kompetensi dan PR yang hanya meneruskan pekerjaan yang belum selesai di sekolah?
Dengan memodifikasi
tugas sedemikian rupa sehingga menjadi lebih menyenangkan dan yang menghargai
hak-hak anak yang lain, tujuan PR untuk membuat anak pintar dengan tidak membuat
anak dan orangtuanya susah insyaAllah mudah tercapai.
GJ b1/26 ~ 11/11/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar