Seorang teman bercerita tentang anaknya yang mendapat
tugas hafalan surah al Bayyinah. Asyik bermain, sang anak lupa akan tugasnya
dan baru memberitahu orangtuanya menjelang hari H. Sang ayah pun memarahi anak
tersebut. Iseng-iseng saya bertanya apakah si ayah juga hafal surah tersebut,
yang dijawab oleh si ibu:
“Enggak!”
“Apa si anak tidak protes?”, tanya saya ingin tahu.
“Ah, takut dia”.
Takut? Hmm...setahun lalu Si Ulan, anak kami yang
sekarang berusia 8 tahun, pernah mengoreksi bacaan bahkan memprotes saat bacaan
surah pendek bundanya yang mengimami sholat Maghrib hanya itu-itu saja.
“Biar aku saja, Bund, yang jadi imam!”, usulnya.
Apa yang membuat anak merasa takut mengeluarkan pendapat
di hadapan orangtuanya?
1. Anak takut biasanya saat orangtua sedang
kesal atau marah. Suara keras saat marah membuat anak kaget dan ciut nyalinya.
Alih-alih menyampaikan pendapat, anak mungkin memilih diam.
2. Orangtua yang bersikap otoriter dalam
menerapkan aturan dan disiplin. Orangtua yang bersikap berkuasa, yang
kehendaknya mesti dituruti tanpa mempertimbangkan pendapat dan keinginan anak,
membuatnya menjadi malas beragumentasi karena merasa tak ada guna.
3. Anak tak memperoleh kesempatan mengutarakan
pendapatnya karena selalu diinterupsi ketika hendak berbicara. Umumnya orangtua
tipe ini tanpa sengaja telah memberikan stempel ‘anak selalu salah dan orangtua
selalu benar’.
Intinya adalah komunikasi atau dialog. Berikut ini tips
untuk berkomunikasi dengan anak:
1. Jadi
pendengar yang baik. Umumnya anak-anak memiliki banyak hal yang
hendak dibicarakan, apalagi saat beranjak remaja. Mereka membutuhkan pendengar
yang dapat memahami uneg-uneg di hati
mereka (baca juga http://busur-panah.blogspot.com/2011/09/di-ignore.html).
2. Terlibat
dengan anak. Tunjukkan kita selalu siap terlibat dengan
dunia dan apa yang jadi minatnya. Aktif berdiskusi dan melihat sesuatu dari
perspektif anak agar mudah memahami maksud mereka.
3. Dorong
anak untuk berbicara. Jangan menunjukkan sifat dominan saat anak
berbicara atau menginterupsi sebelum dia selesai berbicara. Ajukan pertanyaan
sederhana yang membuat anak merasa nyaman menjawabnya dan terus mengutarakan
pendapat.
4. .....(silakan dilengkapi sendiri ya, sesuai
dengan pengalaman masing-masing)
Saat ini sedang membaca buku David Gilmour, The Film Club
(2008), tentang hubungan seorang ayah dan anak yang sedang beranjak dewasa. Buku
ini bercerita tentang komunikasi dalam mendidik anak – yang jauh dari kesan
menggurui – melalui media film-film yang mereka tonton bersama. Pada salah satu
bagian diceritakan sang anak yang merasa sang ayah yang terlalu otoriter dan membuatnya
merasa takut yang melebihi rasa segan. Dengan menonton salah satu adegan dari film
Magnum Force (1973) yang dibintangi Clint Eastwood sebagai media berkomunikasi,
mereka menyelesaikan masalah.
Seru juga ya, berkomunikasi dengan anak melalui media
atau hobby yang mereka suka. Bisa lebih efektif! Kebetulan Ulan dan ayahnya
suka nonton film (dan dengerin musik), bolehlah kedua minat yang sama ini
dijadikan media untuk berkomunikasi.
Bagaimana dengan ayah-bunda?
GJ, 02 Juni 2012
1 komentar:
Vici Savitri mengomentari (via FB): nambahin yah... saat anak selesai menceritakan masalah ortu sebaiknya tdk lgsg menyalahkan sang anak... kalaupun anaknya salah, beritahu dgn cara yg baik sehingga ia mengerti kesalahannya sehingga tdk mengulangi kesalahan tsb dan tdk kapok cerita pda ortunya...
Posting Komentar