Jika
Anda termasuk orangtua yang getol memaksa anak untuk membaca buku pelajarannya,
hati-hatilah. Jangan sampai anak Anda justru ketagihan belajar sehingga tidak
bisa menimati hidup. Kalau sudah begini, dibutuhkan kekuatan polisi untuk
menyetop nafsu belajar anak Anda.
Inilah
yang terjadi di Korea Selatan.
Kehidupan
di Korea Selatan memang kompetitif. Semua orang ingin anaknya menjadi yang
terbaik dari segi akademik. Kawan saya di sana berkisah anaknya yang baru
menginjak umur 3 tahun sudah harus masuk sekolah berasrama (boarding school)
dari Senin hingga Jumat. Otomatis hanya 2 hari bertemu dengan ayah-bundanya
tersayang. “Sori yah!”, kata saya. “Saya nggak
tegaan sama anak sampai segitunya. Kalau anak saya menginjak umur 3 tahun nanti
palingan masih santai-santai di rumah main sama neneknya”.
Saya
(dulu) pernah meyakini kompetisi akan mengekstrak kualitas terbaik dari seorang
manusia. Ibarat evolusi, kompetisi akan mempertahankan hanya yang terbaik dan
yang lemah akan pupus. Tetapi efek negatifnya tentu ada. Kehidupan kompetitif akan
memicu stres. Kita semua tahu apa akibat dari kehidupan yang penuh dengan
tekanan. Kesehatan kita tergerogoti sehingga mati pelan-pelan, atau mati
cara ekspres dengan bunuh diri. Tak heran Korea Selatan mencatat angka bunuh
diri TERTINGGI di antara 30 negara maju, melebihi angka bunuh diri negara
Jepang.
Itukah yang kita inginkan dalam kehidupan ini? Sukses di usia muda tapi mati pun di usia muda?
Itukah yang kita inginkan dalam kehidupan ini? Sukses di usia muda tapi mati pun di usia muda?
Menyadari
hal ini, Pemerintah Korea Selatan mengambil tindakan drastis dengan
menghentikan kegiatan belajar anak-anak yang dirasa berlebihan. Seperti
diberitakan Time Magazine baru-baru ini, pemerintah Negeri Ginseng itu
menurunkan tim kecil berkekuatan 5-6 orang untuk merazia anak-anak yang masih
belajar setelah jam 10 malam. Yang menjadi sasaran utama adalah tempat-tempat
les/bimbingan belajar yang dikenal dengan nama hagwon. Saking gilanya nafsu belajar anak-anak Korea ini, jumlah
pengajar hagwon jauh lebih besar
dibanding jumlah guru sekolah.
Apakah
anak-anak Korea memang rajin sehingga keranjingan belajar? Tidak juga. Jurnalis
Time mendapati mereka bekerja keras (work
hard), tetapi tidak bekerja secara cerdik (work smart). Contohnya, anak-anak ini tidur dalam kelas, tetapi
malamnya belajar sampai dinihari. Mereka hanya tidur 5-6 jam sehari dari yang
seharusnya 9 jam. Seandainya mereka memusatkan perhatian di dalam kelas,
niscaya mereka tidak perlu mengikuti les ini-itu di malam hari.
Sebagai
perbandingan adalah negara Finlandia sebagai satu-satunya negara maju yang
mencatat hasil ujian akademik anak usia 15 tahun sebanding dengan Korea, hanya
13% anak sekolah yang mengambil les tambahan di malam hari. Jadi sebenarnya
les-les semacam itu tidak perlu jika si anak benar-benar memusatkan perhatian
di sekolah.
Kegilaan
belajar anak Korea juga diakibatkan oleh kompetitifnya proses masuk ke
perguruan tinggi. Hanya ada tiga perguruan tinggi top di Korea Selatan yang
diperebutkan oleh 580 ribu lulusan sekolah menengah. Tingkat penerimaan hanya
14%. Yang gagal biasanya mengambil les hagwon,
dan setelah bekerja keras bagai kesetanan selama 2 minggu untuk ujian ulang,
70% di antara mereka bisa masuk ke perguruan tinggi top tersebut.
Saya
kadang-kadang kasihan melihat anak-anak Asia. Bukan cuma anak-anak Korea,
tetapi Singapura, China, dan juga mulai menjangkiti Indonesia. Siapa sih yang
menghendaki anak-anak ini belajar keras? Si anak sendiri atau orangtua? Di
Korea, terbukti orangtua menjadi faktor penekan yang menyebabkan anak gila
belajar. Orangtua ingin anaknya berhasil secara akademis, dan anaknya menjadi
sasaran tekanan.
Saya
masih ingat dulu sekali, kalau rapor saya dan teman-teman ada angka merahnya,
orangtua memarahi kita. Kini lain cerita. Kalau ada angka merah, orangtua
memarahi sang guru. Ini adalah salah satu bukti bahwa ambisi terbesar untuk
melihat kesuksesan si anak justru ada pada orangtua.
Juga anak-anak sekarang, usia balita sudah diikutkan les macam-macam. Les balet, les musik, les bahasa, les bela diri. Ini semuanya bukan permintaan si anak, tapi ambisi orangtua untuk melihat anaknya sukses di usia muda. Si anak sendiri tak peduli apakah dia bisa balet atau berkarate.
Di Singapura biasanya antar orangtua saling membanding-bandingkan. Kalau tetangga sebelah mengirim anak balitanya les balet, dia akan menanyai kita dengan nada sinis, “Anakku sudah bisa berbalet, anakmu bisa apa?” Sebagai orangtua tentu akan merasa panas hati dan terpaksa mengirim si anak berbalet ria walaupun si anak sendiri masih mau bermain saja di rumah. Budaya ini (saling membandingkan) diistilahkan sebagai “kiasu” di Singapura.
Juga anak-anak sekarang, usia balita sudah diikutkan les macam-macam. Les balet, les musik, les bahasa, les bela diri. Ini semuanya bukan permintaan si anak, tapi ambisi orangtua untuk melihat anaknya sukses di usia muda. Si anak sendiri tak peduli apakah dia bisa balet atau berkarate.
Di Singapura biasanya antar orangtua saling membanding-bandingkan. Kalau tetangga sebelah mengirim anak balitanya les balet, dia akan menanyai kita dengan nada sinis, “Anakku sudah bisa berbalet, anakmu bisa apa?” Sebagai orangtua tentu akan merasa panas hati dan terpaksa mengirim si anak berbalet ria walaupun si anak sendiri masih mau bermain saja di rumah. Budaya ini (saling membandingkan) diistilahkan sebagai “kiasu” di Singapura.
Saya
dulu umur 5 tahun masih main gundu dan layangan. Malah masih pakai empeng.
Berhitung pun baru lancar pada saat kelas 2 SD. Toh bisa meraih gelar doktor di
usia sebelum 30 tahun. Saya justru belum melihat bukti anak-anak jaman sekarang
yang dicekoki oleh orangtuanya ini mampu meraih kesuksesan. Jangan-jangan malah
bunuh diri karena stres!
Sumbar: Ayah Edi dari Kompasiana.com
Sumbar: Ayah Edi dari Kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar