(status ini diberi ‘like’ oleh Mustofa
Ali dan Rhara Ritanto, dan dikomentari oleh Rhara Ritanto, Ade Suryana, Rika
Anggraini, Zulfa Dispetsum, Vici Safitri, Ayun, Yanti Haryanto))
Sebuah pertanyaan yang mudah dijawab
sebenarnya, sehingga menimbulkan question
mark apakah si anak bertanya untuk ingin tahu atau sekedar mengetest
kemampuan ayahnya. Okelah kalau begitu… Maka, meluncurlah jawaban-jawaban seperti:
“Kita adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, selalu tolong
menolong. Jadi kita mesti suka membantu orang siapa tahu nanti saat kita butuh
pertolongan juga akan dibantu”.
“Ah, jawabannya ribet!”, jawab Ulan. “Kita mesti
suka menolong, karena sehabis menolong, kita jadi ikutan senang, Yah!”,
lanjutnya memberi penjelasan.
Hmm…jawaban yang sederhana. Tapi, kalau
dipikir-pikir benar juga dan lebih filosofis, lho! Benar karena biasanya
sehabis membantu orang, meskipun waktu, tenaga, dan uang kita keluarkan, tetap
saja kita merasa senang. Lebih filosofis, karena jawaban itu bisa berarti lebih
dalam.
Secara fitrah, manusia itu hidup untuk
mencari kesenangan. Saat kecil kita bermain-main agar merasa senang. Waktu
dewasa, kita mencari dan menekuni hobby karena menyenangkan. Saat sibuk
bekerja, kita ingin berlibur agar hati senang sehingga tidak jadi stress. Kita
menikah dengan pasangan yang menurut kita mampu menyenangkan hati dan pikiran. Jadi,
apa yang kita lakukan bermuara pada kesenangan.
Jika kita mencari kesenangan, maka menolong
atau membantu orang yang bisa membuat hati senang wajib dilakukan. Lalu,
bagaimana jika sehabis membantu orang, kok hati kita malah dongkol? Nah,
artinya kita membantu mereka dengan mengharapkan pamrih. Saat pamrih tak
terbalas, kita jadi dongol dan marah. Tidak ikhlas.
Itulah inti dari jawaban si Ulan: ikhlas
dalam menolong orang membuat hati selalu senang.
Dalam pikiran polosnya, anak-anak seringkali
mengajari kita arti kehidupan. Ayah-bunda, sudahkah kita bercermin kebajikan
dari mereka?
(taken from: qaulan sadiida on facebook)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar