Ada
yang terlihat tidak biasa ketika mengantar anak saya Naufal memasuki pintu
gerbang sekolahnya minggu lalu. Saya mengamati sekeliling. Banyak gambar lebah
tertempel di dinding, mengarah menuju school hall di sebelah kiri. Seakan
mengerti kebingungan saya, Naufal lalu berkata:
“Hari
ini ada spelling bee competition,
Bunda."
Ah ya,
baru saya ingat. Sudah dua tahun terakhir ini sekolahnya menjadi tuan rumah
penyelenggaraan spelling
bee competition untuk murid-murid Year 4, 5,
6 seluruh
Primary Public School
di state NSW ini. Naufal yang tahun lalu masih Year-3 termasuk anggota
tim spelling bee yang
mewakili sekolahnya, bersama kawan-kawannya dari Year-4,
dan 5. Spelling
bee competition adalah kompetisi di bidang linguistik dimana
pesertanya harus mengeja dengan benar sebuah kata yang diajukan oleh penguji di
depan penonton. Pengujiannya berdasarkan sistem gugur, terdiri dari beberapa
babak dengan tingkat kesulitan yang makin meningkat.
Persiapannya,
menurut saya, cukup berat. Mereka harus mempelajari ejaan dari kumpulan vocabulary
sebanyak 11 halaman yang masing-masing halaman terdiri dari sekitar
100 kata. Tak pelak sayapun pontang panting dibuatnya. Bukan perkara mudah
mendisiplinkan Naufal untuk mau melahap ejaan 1000-an kata dalam dua
minggu saja. Tapi juga tidak sesulit menghiburnya supaya tidak berkecil
hati karena tak bisa melaju ke babak ketiga tahun lalu.
Mendadak
saya tersentak. Seperti baru tersadar bahwa minggu-minggu itu tidak sekalipun
Naufal bercerita tentang kompetisi ini, apalagi
membawa pulang berkas vocabulary yang harus
dipelajari pada kompetisi tahun ini.
"Naufal
ikut?" tanya saya. Dia menggeleng.
"Kenapa?"
tanya saya heran.
Sepengetahuan
saya, guru-guru Naufal sering mengikutkan dia di berbagai kompetisi tingkat
sekolah ataupun antar sekolah.
"Aku
sudah bilang Ms. Rispoli kalau aku tidak ikut," jawabnya. Terdengar
seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Kenapa?"
tanya saya makin heran.
"Nggak
kenapa-kenapa," jawabnya lagi, selalu begitu jika merasa tak punya alasan
kuat terhadap sesuatu.
"Semua
pasti ada alasannya," kata saya mengingatkan, sekaligus mendesak
kejujurannya. Dia masih menggeleng.
"Kenapa
tidak cerita Bunda kalau ada spelling
bee competition minggu ini?" tanya saya berganti
arah.
Semula
dia terlihat ragu menjawab. Tapi kemudian berkata dengan takut-takut:
"Kalau
aku cerita, Bunda pasti force
aku untuk ikut."
"Bukan
force, but suggest you,"
kata saya membetulkan. Kami memang terbiasa menggunakan bahasa campuran di
percakapan sehari-hari (*kebiasaan buruk*).
"Jadi
apa alasannya tidak ikut tahun ini?" tanya saya kembali pada topik
semula. Saya masih menunggu kejujuran itu.
“Karena
last year aku
kalah. Dan kalau ikut lagi tahun ini, aku mesti practise, practise, and practise, "
terangnya.
Jawaban
yang mengejutkan saya. Seketika ada sesuatu yang hilang dari hati rasanya. Saya
mencoba menahan diri dan menjelaskan kepadanya:
"Naufal,
kalau tahun lalu kamu kalah, bukan berarti tahun ini kamu juga
akan kalah lagi," tanpa sadar nada bicara saya sedikit lebih
tinggi karena perubahan emosi yang saya coba tutupi. "Bunda lebih suka
kamu ikut spelling bee,
karena itu berarti kamu punya chance
50% untuk menang. Tapi jika kamu memutuskan untuk tidak ikut, maka chance-mu adalah 0%. Benar begitu?", ucap
saya meminta persetujuan dan berharap dia mencerna apa yang saya maksudkan.
Dia
mengangguk mengiyakan. Masih dalam diam.
"Bukan
karena Bunda mengharuskanmu menang”, saya meneruskan, “Tapi Naufal belajar
banyak dengan ikut spelling
bee. Belajar vocabulary
baru, belajar menjaga semangat, dan belajar untuk tidak mudah menyerah. Soal
menang atau kalah, itu biasa. Yang penting adalah kamu sudah berusaha.
Mengerti, kan?"
Dia
mengangguk lagi. Wajahnya masih ditekuk. Saya amati matanya berkaca-kaca. Saya
menarik nafas panjang.
"Jadi,
tahun depan ikut lagi atau tidak?" tanya saya lagi.
Dia
mengangguk. Sayapun tak ingin menahannya berlama-lama. Setelah mencium tangan
dan mengucap salam, Naufal berlari menuju kawan-kawannya. Saya keluar dari area
sekolahnya untuk menuju kampus saya.
Melewati sebuah taman kota
luas, yang memisahkan dua suburb
dimana sekolahnya dan kampus saya berada, di sepanjang perjalanan kaki 10 menit
itu saya merasakan kondisi psikologis yang menukik tajam. Sampai ke titik paling
bawah. Tidak saya pungkiri, bahwa saya sedih mendengar jawabannya tadi
yang terkesan putus asa dan kurang motivasi. Padahal sejauh ini, kami
merasa telah 'melatihnya' di berbagai situasi untuk mempunyai fighting spirit kuat
dalam mencapai tujuan, dan tidak mudah menyerah pada kondisi di luar harapan.
Tapi ternyata usaha kami tak berhasil pada masalah ini.
Saya
mencoba berintrospeksi, menyalahkan diri sendiri yang 3 minggu terakhir
ini kesulitan membagi waktu. Jadwal eksperimen di lab yang
semakin padat pada pertengahan tahun ketiga studi, persiapan simposium dan konferensi yang akan saya ikuti, dan tenggat waktu
penulisan manuskrip yang beberapa kali harus revisi. Kalau
saja di sela-sela semua itu saya mampu mengingat bahwa kompetisi spelling bee selalu
diadakan di bulan September, mungkin jauh-jauh hari saya masih
berkesempatan mengarahkan dia untuk membuang jauh-jauh anggapan pesimis
itu. Sekali lagi saya menarik nafas panjang, mencoba mencari hikmah dibaliknya.
Mungkin ini teguran-Nya agar fokus saya kembali pada tugas utama sebagai seorang
ibu, bagaimanapun terbatasnya waktu yang saya punya. Saya berniat
memperbaiki kesalahan ini dan bersyukur atas teguran-Nya itu. Seperti halnya
tekad saya setelah mendengar protesnya untuk tidak lagi memintanya belajar
terlalu keras mengeja ribuan kata sebagai persiapan pada kompetisi spelling bee tahun
depan.
Lantas
saya teringat mata bulatnya yang berkaca-kaca..
Naufal,
anakku, maafkan Bunda. Bukan maksud Bunda marah atas keputusan yang kau buat
sendiri itu. Begitupun, Bunda tidak bermaksud memaksamu, ataupun tidak
menghargai keputusanmu. Bukan..bukan. Bunda hanya ingin supaya kau selalu
memiliki semangat yang kuat dalam meraih suatu kebaikan dan tidak mudah
menyerah pada keadaan. Mendidikmu dengan sebaik-baiknya adalah janji Bunda
kepada-Nya dulu sewaktu bertahun-tahun memintamu untuk dipercayakan kepada
kami, orangtuamu. Menjadi kewajiban kami untuk mengusahakan dan membuatmu
selalu termotivasi dalam meraih tujuan hidupmu di dunia ini, terlebih di
akhirat nanti. Supaya sedikit
saja berkurang pertanggungjawaban kami di Yaumul Hisab yang
amat berat itu. Dan supaya engkau tidak menuntut kami tentang
hak-mu sebagai anak di hadapan-Nya kelak.
Ketahuilah
bahwa semua yang kami lakukan selalu bertujuan untuk kebaikanmu, sekarang
dan di masa depan. Kami hanya bermaksud menjadi sebuah busur yang kokoh
untuk mengarahkan engkau, si anak panah. Agar di saat tiba waktu bagi
anak panah itu untuk meninggalkan busurnya, dia mampu
melesat tinggi dan mantap dengan kecepatan penuh, serta
mengarah lurus..
(terinspirasi oleh Kahlil Gibran di
tulisan-tulisan rekan saya, Ulan Noor Lukman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar