23/06/11 – 16.28
(status ini diberi ‘Like’
oleh Eliana Joe, Meilina Fitriawan, Erita Maysra, dan Eni Purwaningsih,
serta dikomentari oleh Estee Sugesty)
Tak
menunaikan sholat Ashar hari sebelumnya, Ulan dihukum tidak boleh bermain.
Konsekuensi ini telah disepakati dan tertuang dalam perjanjian bersama. Meskipun
saat itu ada kesempatan bermain dan tidak ada yang mengawasi, Ulan tetap
menjalankan hukuman itu.
"Aku
tiduran saja di kamar sambil baca buku, Yah!", ujarnya.
-----------------------------
Adalah
penting memaafkan kesalahan seorang anak, namun penting pula memberi kesadaran
pada mereka bahwa apa yang telah mereka lakukan keliru dan tidak mengulangi
kesalahan yang sama. Kesadaran itu bisa dalam bentuk hukuman atau konsekuensi. Tentu
saja hukuman tersebut tetap harus memberi ruang bagi anak untuk membela diri
dan menyampaikan alasannya.
Bersama
Ulan kami berdiskusi membuat kesepakatan tentang apa saja yang perlu diatur.
Kami menuliskan perjanjian tersebut dalam buku catatan khusus dan ditandangani
oleh ayah, bunda, dan Ulan. Terkadang mbak Suci – pengasuh Ulan – pun turut
serta terlibat. Jadi, si anak sudah mengetahui dan menyadari semua komitmen
yang harus dilakukan dan konsekuensi jika kesepakatan tersebut dilanggar. Dengan
mengetahui dan sepakat dengan konsekuensi pelanggaran, anak akan belajar
bertanggung jawab terhadap setiap tindakannya sehingga anak tak kaget menerima
hukuman dan insyaAllah takkan mengulang kesalahan yang sama (baca juga: http://busur-panah.blogspot.com/2011/09/say-no-to-sorry.html).
Sebuah
kisah menarik dan inspiratif dari seorang ulama. Sang ulama dalam mendidik
anak-anaknya juga membuat kesepakatan serupa. Salah satunya adalah saat waktu Maghrib
anak-anaknya harus sudah berada di rumah, kecuali bila ada aktifitas lain yang
telah teragendakan.
Suatu
hari seorang anaknya terlambat tiba di rumah. Ia keasyikan bermain sampai jauh
di luar rumah. Setelah mandi dan sholat Maghrib, sang ayah memanggil anak
tersebut dan menanyakan alasan kenapa ia terlambat serta mengingatkan sanksi
yang telah disepakati. Beliau meminta maaf dan mengatakan tidak ingin memberi
sanksi namun tetap harus dilakukan sesuai kesepakatan. Si anak mengatakan ia menyesal
dan meminta ayahnya memberi sanksi. Lalu mereka berdua pun menangis berpelukan.
Si anak menjalani hukuman dengan penuh kesadaran. Sejak saat itu kesalahan yang
sama tak terulang.
Moment
mengharukan seperti itu pasti akan mengingatkan si anak untuk tidak melakukan
kesalahan yang sama.
Berikut ini point-point tentang meminta maaf
dan konsekuensi yang efektif dari berbagai sumber:
1. Meminta maaf harus disertai dengan kesadaran untuk
tidak mengulangi kesalahan
2. Memastikan si anak telah mengetahui konsekuensi jika
ada aturan yang dilanggar. Konsekuensi tersebut mesti memberikan dampak positif
padanya.
3. Menjalankan konsekuensi atau sanksi segera, tidak
menunda-nunda sehingga memberi kesan tidak konsisten dan tidak serius.
4. Tidak mengungkit-ungkit kesalahan dan memberikan apresiasi
jika anak melakukan perbuatan baik. Hindari sosok orangtua sebagai ‘penghukum’
yang menyeramkan.
5. Menjadikan orangtua sebagai role model utama bagi anak dengan berjiwa besar untuk meminta maaf
dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, terutama kepada anak-anak.
6.
...dan lain-lain (silakan dieksplorasi sendiri,
he..he..)
Selamat
berinteraksi dengan anak-anak, ayah bunda!
(taken
from: qaulan sadiida on facebook: bercermin pada anak-anak...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar