17/04/11
– 06.44
(status ini diberi ‘Like’
dan dikomentari oleh Kireina Bgt dan Rosita Hendriyani)
Kerap kita bercanda dengan anak dengan mengajukan
suatu pertanyaan yang memintanya berpihak pada salah satu diantara ayah atau bundanya.
Misalnya, bertanya tentang kemiripan anak tersebut. Meskipun jawaban si anak
tak berpihak kepada kita, tetap saja kita merasa senang.
Suatu
pagi kami pun bercanda dengan Ulan dan menanyakan satu pertanyaan multiple choice.
"Ulan
anak bunda atau ayah?", tanya si ayah, ngetest.
"Aku
itu anak Allah, Ayah!", jawab Ulan cepat.
“Kan
Allah tidak punya anak”, balas ayah berargumentasi.
"Ih,
Ayah!, maksudku Allah itu cuma menitipkan aku ke Ayah dan Bunda", terang
Ulan bak seorang guru yang sedang serius menjelaskan. “Jadi, sebenarnya aku itu bukan milik Ayah
dan Bunda”, lanjutnya.
“Nah,
lho...pagi-pagi sudah dapat ceramah tentang Anakmu
bukanlah Milikmu-nya Gibran*)”, gumam ayah.
Jangan
meremehkan seorang anak, mungkin itu adalah nasehat yang pas buat kita, para
orangtua. Anak-anak jaman sekarang menyerap informasi lebih banyak dan lebih
cepat dibandingkan saat kita masih anak-anak dulu. Hal itu disebabkan akses
informasi yang lebih mudah diperoleh, berupa media TV, internet, koran, buku, maupun
hasil ‘diskusi’ dengan teman (chatting,
gosip, dll.). Anak jaman sekarang adalah anak-anak digital (baca juga: http://busur-panah.blogspot.com/2011/09/anak-kita-anak-digital.html).Dengan
kemudahan akses informasi tersebut, anak-anak memiliki ragam jawaban atas suatu
pertanyaan yang bisa diperolehnya dengan mudah. Dan seringkali mempunyai
jawaban tak terduga, seperti jawaban si Ulan yang diketahuinya dari buku yang
mencantumkan sebuah puisi Kahlil Gibran.
Anakmu bukan
milikmu
Mereka putra putri yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam dimasa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmu-lah
anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuk-liuk dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat cepat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Tugas
orangtua adalah membimbing agar anak memperoleh jawaban yang tepat dan benar. Juga
memberikan saran-saran alternatif agar anak mampu memilih dan bertanggung jawab
terhadap pilihannya. Hal ini dapat dilakukan dengan melalui dialog yang setara
dimana anak mampu menyampaikan pandangan kritis secara terbuka – yang bisa jadi
berseberangan dengan pendapat orang tua – tanpa takut dibilang durhaka.
Keterbukaan
menumbuhkan kepercayaan. Rasa percaya yang terjaga menumbuhkan rasa hormat anak
terhadap kita, bukan perasaan takut. Perasaan takut hanya akan membuat sang anak
menutup diri yang bisa berakibat kehilangan kontrol kita
terhadapnya.
Dialog
juga membuat kita – para orangtua – dapat memahami karakter anak. Coba simak
petikan dialog ini.
“Ulan
mirip siapa, ayah atau bunda?”, tanya bunda.
“Mirip
dua-duanyalah, kan anak ayah bunda”, jawabnya tegas.
You see? Si anak tak ingin membuat ‘konflik’
dengan berpihak pada salah satu. Ia mampu melihat celah aman diantara dua
pilihan. Hmm..pasti anak-anak ayah-bunda juga menyimpan hal-hal yang luar biasa.
Try to find out deh!..;)
(taken from: qaulan on facebook: bercermin pada anak-anak..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar